Rabu, 08 Juli 2015

Tentang Tradisi Menjelang Lebaran di Kampung Saya, Dulu dan Kini

Kurang lebih sepuluh hari lagi kita semua, khususnya kaum muslimin yang menjalankan ibadah puasa akan menyambut hari kemenangan. Sebuah hari yang konon katanya membuat kita suci kembali seperti bayi baru lahir, atau juga bisa di ibaratkan seperti kertas kosong yang tidak ternoda sedikit pun.

Di Indonesia, untuk menyambut hari kemenangan tersebut berbagai persiapan pun dilakukan. Misalnya para perantau segera berbondong-bondong untuk balik ke kampung halaman setelah sekian lama meninggalkan keluarga dan sanak saudara. Hiruk pikuknya sudah begitu terasa dari hari pertama ramadhan dan semakin meningkat menjelang dua minggu sebelum lebaran. Bahkan aktivitas ini sudah menjadi bagian dari tradisi yang terjadi secara turun temurun dan tak bisa di pisahkan lagi.

Di kampung saya, selain tradisi mudik, biasanya juga setiap menjelang lebaran, para ibu-ibu sudah mulai di sibukkan untuk menyiapkan berbagai panganan ringan untuk di santap dari H lebaran nanti. Tak sampai di situ saja, berbagai menu favorit dan andalan pun tak luput disiapkan demi untuk menyenangkan hati anggota keluarga khususnya, juga sanak saudara yang nanti berkesempatan untuk berkunjung ke rumah.

Tak hanya ibu-ibu saja, para remaja dan bapak-bapak pun tak mau ketinggalan untuk ambil bagian dalam menyambut hari lebaran.  Biasanya bapak-bapak dan remaja menyiapkan tempat untuk shalat di lapangan sepakbola. Al hasil, lapangan sepakbola pun di permak secantik mungkin dengan maksud agar nyaman dijadikan tempat shalat. Selain membersihkan dan mempercantik lapangan sepakbola untuk tempat shalat Idul Fitri, masjid juga tak luput untuk di bersihkan dengan tujuan sebagai tempat cadangan apabila terjadi sesuatu hal di luar kehendak kita. Contohnya, tiba-tiba saja hujan.

Sedangkan saat menjelang malam lebaran, para warga berbondong-bondong melakukan pawai takbir keliling, tentu setelah takbir di masjid usai. Biasanya warga menggunakan gerobak yang di dalamnya sudah terisi peralatan untuk takbir, seperti mic, speaker, ampli, dan mesin generator sebagai listriknya. Dengan peralatan seadanya tersebut, para warga melakukan takbir keliling dari dusun ke dusun dan tak jarang naik turun bukit. Tak ketinggalan juga bunyi mercon, dalam hal ini mercon bambu bukan mercon modern seperti saat ini. Bahkan cahaya kembang api juga ikut mewarnai malam yang minim akan pencahayaan karena PLN tidak sampai di kampung halaman saya.

Saat menjelang hari lebaran dan usai shalat ID, tradisi pun dilanjutkan dengan salam-salaman dan mengunjungi rumah warga satu persatu. Usai mengunjungi rumah warga, selanjutnya berkunjung ke dusun lain atau desa lain. Sewaktu saya masih kecil sampai SMP, biasanya untuk berkunjung ke dusun sebelah dan desa lain masih mengandalkan kaki walaupun kadang jaraknya lumayan jauh. Ada yang dua kilo, tiga kilo, bahkan sampai lebih sehingga saat berkunjung pun kebanyakan dilakukan secara berbondong-bondong. Sedangkan sekarang sudah banyak yang menggunakan sepeda motor.

Usai tradisi salam-salaman dan berkunjung ke rumah sanak saudara di lakukan. Biasanya, menjelang sore hari dan kadang juga esok harinya di adakan tradisi gunting rambut massal yang di khususkan untuk bayi. Lokasinya sudah di tetapkan untuk lebaran setiap tahunnya. Setelah itu kemudian di lanjutkan dengan acara pencak silat, dimana acara ini paling di nanti-nanti oleh para remaja dan orang dewasa. Yang merasa dirinya bisa silat dipersilahkan maju ke dalam lingkaran yang dikelilingi oleh anak-anak, remaja, dewasa dan orang tua. Begitu juga dengan yang merasa mampu melawan salah seorang yang sudah maju ke dalam lingkaran.

Oh iya, tak lupa irama genderang ikut mengiringi acara pencak silat ini. Berbagai gaya dari perguruan masing-masing di pertontonkan dalam acara ini. Bahkan acara ini selalu ramai dan selalu di nanti-nanti kehadirannya setiap tahun.

Selain acara pencak silat dan gunting rambut massal, beberapa tahun belakangan ini muncul lagi tradisi tempo dulu. Tradisi yang sempat jaya sampai era saya belum lahir 26 tahun yang lalu. Tradisi ini di namakan “Potappaki”, yang dalam bahasa Indonesianya “Berjumpa Kembali”. Di mana acara ini di maksudkan untuk menghimpun para perantau agar sering pulang ke kampung halamannya, setidaknya setiap dua tahun sekali. Yang artinya acaranya di adakan setiap dua tahun sekali dan tahun ini memasuki tahun ke-4 acara ini di adakan. Dan benar saja setiap mendekati waktu acara ini, para perantau yang merantau ke berbagai pelosok negeri benar-benar kembali ke kampung halaman untuk memeriahkan acara ini sekaligus bersilaturahmi.

Acara ini juga menghadirkan kembali tradisi lama yang di kenal dengan sebutan “Ritual Bambu Gila”. Maksudnya sepotong bambu bisa bergerak dan memberontak layaknya manusia. Di mana dalam pelaksanaannya terdapat sepotong bambu dan beberapa pemuda yang menyatakan siap untuk mengadakan ritual tersebut. Kemudian sepotong bambu tersebut di pegang oleh para pemuda. Setelah itu dilakukan ritual untuk memasukkan roh ke dalam bambu yang dipegang. Ketika roh tersebut sudah berhasil masuk ke dalam bambu, maka mulailah bambu tersebut memberontak dan membawa para pemuda yang memegangnya ke sana ke mari. Di mana jika di perhatikan lama kelamaan, hal tersebut tak beda jauh dengan yang dilakukan oleh orang gila.

*  *  *

Itulah tradisi yang sempat aku ketahui sejak kecil sampai sekarang setiap menjelang lebaran. Namun ada beberapa tradisi yang tidak pernah lagi diadakan sejak saya SMA kelas 2 sampai sekarang, yakni acara gunting rambut massal dan pencak silat sudah tidak terdengar lagi gaungnya. Bahkan seakan punah dari muka bumi ini.

Selamat membaca, di lain kesempatan akan saya ceritakan mengenai tradisi ala saya sendiri setiap kali mudik ke kampung halaman.

Makassar, 8 Juli 2015

18 komentar:

  1. menjelang lebaran pun ada tradisinya ya mas :) di tepat saya kalo mau menjelang lebaran pasti deh bersih-bersih rumah sampai rumah di cat tapi engga semuanya penduduknya mengecat rumah namun hanya sebagian warga saja :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya pun sering melakukan hal sama menjelang lebaran. Mengecat rumah sendirian, kadang seminggu baru selesai soalnya lumayan besar juga rumah di kampung.

      Hapus
    2. mohon ijin, setelah follow pake akun Mang tuvli, kini tak follow pake akun Mang Lembu...supaya kompak gituh deh

      Hapus
    3. Silahkan pak, saya selalu menerima siap saja yang mau berteman dan berbagi dalam hal positif.
      Insya Allah bakalan kompak pak.

      Hapus
  2. lebaran emang warna-warni yak. tradisinya oke juga tuh :)
    semangat vroh, 9 hari laagi makan siang..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha... 9 hari bebas makan siang ya mas.

      Hapus
  3. Tradisi boleh aja dilakukan tp jgn berlebihan ... Selamat menanti lebaran

    BalasHapus
  4. euforia ramadhan ya mas. dulu waktu saya masih tinggal sama mamah, menjelang lebaran pasti sibuk bikin kue dan bersih bersih rumah :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kurang lebih seperti itu. Bersih-bersih rumah sudah menjadi kewajiban di bulan ramadhan.

      Hapus
  5. Waduh jadi inget lebaran sebentar lagi ya.. hehe.. belum beli baju baru.. hehehehehehehehehehe :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha... sama mas, saya masih pakai yang pakaian tahun lalu dan beberapa tahun lalu.

      Hapus
  6. menarik sharing pengalamannya mas...jadi inget masa kecil dulu heheheh...salam :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih untuk apresiasinya. Masa kecilnya penuh dengan kenangan ya.

      Hapus
  7. yang paling menarik dari adat kebiasaan lebaran di kampungnya adalah bambu gila, saya pernah liat acara bambu gila ini, seru dan menarik acara ini, tapi apa beneran gitu ya bambunya itu ada roh mahluk serupa jin yang mendiami bambu tersebut...aneh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya belum pernah nyoba pak jadi peserta. Jadi belum bisa memastikan apakah benar ada roh yang mendiami bambu tersebut. Sampai saat ini yang saya ketahui hanya berdasarkan penuturan para orangtua jaman dahulu yang mengatakan demikian.

      Hapus
  8. wah tradisinya sangat menarik sekali, kalau saya paling sorenya ketemu sekeluarga dirumah nenek tercinta, disitulah letak kebersamaanya ada :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau saya malah terbalik, kumpul bersama semua keluarga biasanya setelah shalat Idul Fitri sekaligus di rangkaikan dengan ziarah ke makam keluarga.

      Hapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...