|
Tere Liye |
Dia
bagai malaikat bagi keluarga kami.
Merengkuh
aku, adikku, dan Ibu dari kehidupan jalanan yang miskin dan nestapa.
Memberikan
makan tempat berteduh, sekolah, dan janji masa depan yang lebih baik.
Dia
sungguh bagai malaikat bagi keluarga kami.
Memberikan
kasih sayang, perhatian dan teladan tanpa mengharap budi sekali pun.
Dan
lihatlah, aku membalas itu semua dengan membiarkan mekar perasaan ini
Ibu
benar, tak layak aku mencintai malaikat keluarga kami.
Tak
pantas. Maafkan aku, Ibu.
Perasaan
kagum, terpesona, atau entahlah itu muncul tak tertahankan bahkan sejak
rambutku masih dikepang dua.
Sekarang,
ketika aku tahu dia boleh jadi tidak pernah menganggapku lebih dari seorang
adik yang tidak tahu diri, biarlah…
Biarlah
aku luruh ke bumi seperti sehelai daun…
Daun
yang tidak pernah membenci angin meski harus terenggutkan dari tangkai
pohonnya.
Dia
membiarkan dirinya jatuh begitu saja.
Tak
melawan, mengikhlaskan semuanya.
Bahwa hidup harus menerima, penerimaan yang indah.
Bahwa
hidup harus mengerti, pengertian yang benar.
Bahwa
hidup harus memahami, pemahaman yang tulus.
Tak peduli lewat apa penerimaan, pengertian, pemahaman itu datang. Tak masalah
meski lewat kejadian yang sedih dan menyakitkan. Biarkan dia jatuh sebagaimana
mestinya. Biarkan angin merengkuhnya, membawa pergi entah kemana.
Makassar, 28 Oktober 2015
Catatan :
Di Kutip dari novel karya Tere Liye dengan judul "Daun
Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin"