Materi
demi materi telah kami terima. Tak terasa, waktu telah menunjukkan pukul 14.00
Wita sekaligus merupakan sebuah pertanda bahwa kegiatan hari itu akan memasuki
puncaknya. Sedangkan disisi lain, juga sebagai sebuah sinyal kepada seluruh
peserta “Workshop TravelNBlog 5” untuk mempraktekkan ilmu yang di curi dari
para kakak-kakak pemateri hari itu, yang ibarat kata Syahrini “Kece Baday”.
Uuuulalaaa....
Ya...
sudah saatnya untuk mempraktekkan ilmu yang dibagikan oleh Kak Wira Nurmansyah
(cara mengambil photo). Mumpung lagi angat-angatnya gitu, sekaligus untuk
menghilangkan rasa kantuk yang menyerang akibat kelamaan berada dibawah AC. Apalagi
kegiatan ini bisa dibilang moment yang paling aku tunggu-tunggu, karena selama
dua bulan terakhir ini berhadapan dengan angka-angka, menggambar, dan membuat
laporan progres pekerjaan lapangan. Atau dengan kata lain aku perlu refreshing
agar pikiran tetap fresh.
Siang
itu, sesuai dengan tema yang di angkat yakni “Makassar Heritage Tour”,
maka kami pun segara menyiapkan peralatan yang dibutuhkan seperti kamera. Namun
sebelum memulai petualangan, aku dan peserta lainnya dikumpulkan terlebih
dahulu untuk menerima arahan mengenai tempat yang akan dikunjungi. Dari beberapa
masukan yang ada, akhirnya terpilihlah dua tempat, yakni “Benteng Somba Opu
dan Benteng Fort Rotterdam”. Dan sebelum meninggalkan Gedung DiLo
Makassar, kami menerima arahan terakhir untuk berkumpul di Benteng Fort
Rotterdam, mengingat sebagian dari peserta ada yang tidak membawa kendaraan.
Ketika
melangkahkan kaki menuju parkiran, tiba-tiba cuaca yang tadinya sangat cerah
menjadi sedikit mendung. Langit pun mulai nampak gelap. Sebagian dari kami
bergumam, akankah turun hujan? Meski demikian, hal tersebut tidak menjadi
halangan. Kami tetap bergegas dan menuju titik temu sesuai kesepakatan. Sekitar
20 menit kemudian, kami semua sudah berkumpul dan dari situlah petualangan
dimulai, dengan lokasi pertama adalah “Benteng Somba Opu”.
Jujur
saja, selama hampir 8 tahun berada di Makassar, hari itu untuk pertama kalinya
aku akan menginjakkan kaki di Benteng Somba Opu. Lah... selama ini kemana saja?
Gak kemana-mana kok, kebanyakan ngadem di kost, malah pernah tersesat sekali yang
berakhir di depan jembatan menuju benteng, serta pernah juga beberapa kali
lewat doang saat ngantar adikku ke kost temannya yang gak jauh dari jembatan
menuju benteng.
Singkat
cerita, mobil yang kami tumpangi pun kini memasuki mulut jembatan menuju
benteng. Suara air Sungai Jeneberang terdengar begitu deras. Dari balik kaca
mobil terlihat tanaman eceng gondok yang menyejukkan mata. Sayang, bunganya
belum bermekaran. Padahal pengen selfie juga kaya anak alay yang lagi ramai
diperbincangkan di media sosial gara-gara ngerusak bunga Amarilys.
Pelan
tapi pasti, mobil yang kami tumpangi mulai memasuki kawasan benteng. Saat
melewati jembatan dan tepat disamping kiri terdapat tulisan “Taman Burung”. Aku
pun langsung teringat pada sebuah artikel yang pernah aku baca mengenai taman
burung yang keren di Makassar. Dan aku baru sadar kalau taman yang di maksud
ternyata berada di kawasan Benteng Somba Opu. Karena tujuan kami bukanlah
tempat tersebut, maka kendaaraan tetap melaju. Namun lajunya sedikit dipelanin sebab
jalanan masuk sedikit tidak rata dan cenderung berlubang dengan jarak kurang
lebih 50 meter.
![]() |
Sisa Tembok dan Peta Benteng, Dok. Pribadi |
Tapi
setelah semua itu terlewati dan mendekati pintu masuk, aku langsung takjub
ketika melihat beberapa bangunan yang menggambarkan rumah adat beberapa daerah
di Sulawesi Selatan. Salah satunya yang paling aku kenal adalah rumah adat Tana
Toraja. Jika diperhatikan tata letaknya seperti membentuk sebuah taman mini.
Dan ternyata memang benar, dari sejarahnya Benteng Sombu Opu sejak jaman dulu
sudah dirancang untuk menjadi sebuah taman mini yang dikhususkan untuk memperkenalkan
budaya Sulawesi Selatan. Hal itu aku ketahui saat bertanya pada seorang teman
disampingku, yang berasal dari Tana Toraja.
Semakin
ke dalam, nuansa budaya dan arsitektur tradisional serta peninggalan jaman
kolonial semakin terasa. Hal ini bisa dilihat dari model bangunan yang masih
menggunakan kayu, memiliki kolong tinggi, bentuk atap yang tinggi, dan terdapat
beberapa peninggalan jaman dulu, contohnya seperti bangunan tembok dan meriam.
Tak
berselang lama, kami pun sampai di parkiran. Satu persatu yang ikut tour keluar
dari mobil dan semua langsung berkumpul di satu tempat untuk mendengarkan
bagaimana sejarah Sulawesi Selatan, termasuk sejarah Benteng Somba Opu. Dan
yang menjadi narasumber alias sejarawan siang itu adalah Kak Ipul (Daeng
Gassing). Ia adalah seorang blogger yang tau sedikit banyak mengenai sejarah
jaman dulu. Bahkan sempat juga dia menjelaskan mengenai asal usul panggilan
andi, daeng, dan karaeng, yang ternyata tidak sembarang orang bisa mendapatkan
panggilan demikian.
Setelah
mendengarkan sedikit mengenai sejarah Sulawesi Selatan, Benteng Sompa Opu dan
sekitarnya, kami pun memutuskan untuk berkeliling mengingat waktu yang
terbatas, masih ada satu objek lagi yang harus dikunjungi, dan cuaca yang
semakin gelap.
![]() |
Dok. Pribadi |
Saat
sedang asyik-asyiknya mempraktekkan ilmu yang diajarkan oleh Kak Wira
Nurmansyah di sekitar Museum Karaeng Pattingaloang, tiba-tiba gerimis turun. Kami pun memutuskan untuk berteduh di museum tersebut sambil
melihat-melihat koleksi yang dipajang. Dari
sekian banyaknya koleksi yang di pajang di dalam museum tersebut, ada beberapa
yang menarik perhatianku, seperti :
- Lemari koleksi uang. Dimana di dalamnya terdapat beberapa uang kertas, mulai dari uang kertas tahun 1951 (uang kertas pertama) sampai cetakan saat Bj. Habibie masih jadi Presiden.
- Lukisan Benteng Somba Opu dan sekitarnya di ketinggian kurang lebih 7 meter dari lantai. Menariknya dibawah gambar tersebut terdapat cermin besar, yang bentuknya seperti meja gambar di studioku (Jurusan Arsitektur). Sehingga untuk melihat lukisan tersebut tidak perlu capek-capek untuk mendongak ke atas. Cukup berdiri di depan cermin tersebut jika ingin melihat lukisannya.
- Peralatan perang jaman dulu, seperti beberapa jenis tombak.
- Para tokoh tokoh Kerajaan Gowa–Tallo beserta nama lengkapnya. Sebut saja salah satunya Sultan Hasanuddin, yang ternyata memiliki nama lengkap lumayan panjang dan susah untuk di hafal. Berikut nama lengkapnya : I Mallombassi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape Sultan Hasanuddin.
Karena waktu yang lumayan mepet dan gerimis sudah berhenti, maka kami memutuskan untuk mengakhiri petualangan di Benteng Somba Opu dan bersiap-siap untuk menuju destinasi selanjutnya.
![]() |
Lukisan dilihat dari cermin, Dok. Pribadi |
![]() |
Koleksi Tombak, Dok. Pribadi |
Makassar,
18 Desember 2015
Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba blog "Blog Competition #TravelNBlog5:Jelajah Sulsel" yang diselenggarakan oleh @TravelNBlogID
kalo didaerah saya ada namanya benteng pendem, di Cilacap
BalasHapusNama bentengnya unik kalau menurut aku.
HapusPengen kesini lagi :(
BalasHapusDi tunggu kedatangannya Mas. Tenang aja, teman-teman blogger Makassar sipa nemenin.
HapusIkut ngeramein saja mas bro.
BalasHapusPertama kali main ke blog ini.
BalasHapussalam kenal yah bro^^.
aaah, sayang wkatu ke Makassar Juni Kemaren gak sempet maen ke benteng sumba opu. cuma sempet belanja aja *eeeh*.
Salam kenal juga Mbak Astari Ratnadya.
HapusSemoga bisa berkunjung di lain waktu lagi.
benteng somba opu, sama kayak benteng kuto besak di palembang ya. disni malah jadi markas kodam mas, jadi agak susah masuknya
BalasHapusYah... Sayang donk, padahal kan bagus tuh dijadikan tempat refreshing sekaligus belajar sejarah.
HapusKalau di Makassar bangun bersejarah gak boleh di ganggu lagi, meski itu dari pemerintah sendiri karena sudah ada undang-undang yang di buat pemprov untuk melindunginya.
yeaaay! ayooo, keluar dari kost dan makin banyak jelajah kota/provinsi sendiriiii! hihihihi...
BalasHapusHehehe...
HapusIya, perlu banyak refreshing lagi nih.