Gak terasa, akhir pekan sebentar lagi akan berakhir dan esok masuk hari kerja lagi. Mumpung masih ada sedikit waktu, mendingan kita belajar sejarah saja. Kebetulan saat membuka facebook, aku menemukan sebuah sejarah yang menarik dan sayang jika dibiarkan lewat begitu saja.
Sejarah yang aku maksud adalah mengenai masuknya
sebuah perusahaan besar yang mengeruk hasil bumi negeri ini. Yang mana berkat
hasil bumi tersebut, negaranya menjadi kaya raya dan kita hanya kebagian sedikit
saja dari hasil penjualan (di bawah 5%). Malah yang paling banyak kita dapatkan
adalah limbahnya saja dan kerusakan alam (hutan) untuk jangka waktu yang
panjang.
Perusahaan yang aku maksud tak lain dan tak
bukan adalah FREEPORT.
Mau tahu sedikit sejarah masuknya Freeport ke Indonesia
sampai bebas mengeruk hasil alam negeri ini untuk jangka waktu yang panjang.
Berikut ulasannya yang aku dapatkan dari akun Facebook seorang teman bernama
Muhammad Toha.
* * *
Mari kita buka buku sejarah Indonesia dan
cuplikan beberapa peristiwa dunia di era sebelum 1970-an. Bisa jadi di belakang
rentetan peristiwa di masa lampau itu, kita akan menyebut sebuah nama yang
sama: Freeport!
Sumber Gambar : www.eramuslim.com |
Sejarah memang tidak pernah tercipta oleh dalil tunggal, melainkan oleh serangkaian penyebab yang jamak. Namun, rasa-rasanya menilik sejarah Indonesia, Freeport sedikit banyak memberi warna atas serangkaian peristiwa yang terjadi di Nusantara
Agak berlebihan sepertinya…Tapi baiklah; inilah
bualan saya!
Pasca menang di perang dunia kedua, Belanda
yang bergabung dengan sekutu hendak kembali ke Indonesia sebagai penguasa.
Namun, bekas wilayah jajahannya itu, ternyata telah menyatakan diri sebagai
negara berdaulat. Belanda tentu saja tidak rela. Selama rentang masa 1945
hingga 1949, dengan kekuatan militernya, Belanda menduduki dan bercokol di
beberapa wilayah Indonesia—dengan rentetan perlawanan bersenjata dari rakyat
Indonesia.
Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag pada 2
September 1949 menjadi ujung dari kekuasaan Belanda di Indonesia. Belanda
akhirnya mengakui Indonesia sebagai negara merdeka dengan wilayah seluruh bekas
jajahannya, dengan pengecualian; Irian Barat. Irian Barat disepakati akan dibicarakan
lebih lanjut, setahun setelah KMB ditandatangani.
Nah, di sinilah tanda tanya layak diajukan?
Mengapa Belanda bersedia mengakui seluruh wilayah bekas jajahannya sebagai
wilayah Indonesia dengan pengecualian Irian Barat? Kenapa bukan wilayah Sunda kecil
(NTB, NTT), Kalimantan atau Sulawesi yang dipertahankan?
Belanda memang menyembunyikan sejumlah alasan.
Tapi harta karun yang teramat besar di perut bumi Irian Barat diyakini sebagai
alasan utama. Belanda telah jauh-jauh hari mempunyai datanya. Pada 5 Desember
1936, di pegunungan Cartesz pada ketinggian 3.600 meter dpl, Geologis Belanda
bernama Colijn dan Jean Jaques Dozy menemukan gunung setinggi 180 meter yang
berisi tembaga dan emas. Mineral itu nampak terserak di permukaan, sehingga
berkilau diterpa matahari. Gunung itu diberi nama Ersberg.
Kembai lagi ke KMB. Genap setahun setelah KMB,
Belanda ternyata tak kunjung membuka pembicaraan soal Irian Barat. Bahkan
secara sepihak, pada Agustus 1952, Belanda menjadikan wilayah Irian Barat
sebagai salah satu propinsinya. Seorang Gubernur Jenderal dikirim dari Belanda
sebagai penguasa wilayahnya.
Indonesia protes dan mengajukan keberatan.
Berbagai upaya dilakukan Pemerintah, diantaranya dengan membawa masalah Irian
Barat dalam sidang umum PBB. Tetapi posisi Belanda sebagai negara sekutu yang
di sokong Amerika, Inggris dan Australia, terlalu kuat untuk di goyang. Irian
Barat tetap dikuasai Belanda.
Dalam masa penguasaan Belanda inilah,
penyelidikan lebih lanjut soal harta karun yang terpendam di Irian dilakukan
oleh Badan Geologi Kerajaan Belanda. Dan hasilnya, seperti yang diberitakan
oleh New York Times pada 6 Maret 1959, Pemerintah Belanda mengkonfirmasi
penemuan ladang Tembaga dan Emas yang melimpah di Ersberg.
Cerita tentang Irian Barat bergulir melintasi
benua, dan menarik minat para pemburu rente di belahan bumi utara. Pada Agustus
1959, beberapa bulan setelah pemberitaan di New York Times, Forbes Wilson,
salah satu petinggi Freeport Sulphur, perusahaan tambang Amerika skala sedang,
bertemu dengan Jan Van Gruisen dari East Borneo Company. Pembicaraannya seputar
temuan ladang tembaga dan emas di Irian Barat.
Freeport yang kondisinya sedang sekarat karena
konsesi tambangnya di Cuba diambil alih oleh Pemerintahan Fidel Castro, menaruh
minat untuk mengecek kebenarannya. Diceritakan dalam buku sejarah Freeport,
bagaimana Forbes Wilson girang tak kepalang saat menginjakan kakinya di
Ersberg. “Seharusnya gunung ini diberi nama Mountain Gold, bukan Ersberg.”
begitu pengakuannya. Tembaga, emas dan perak di gunung itu berserak dan
melimpah di permukaan, tinggal dikeruk tanpa harus membuat terowongan atau
membelah gunung.
Bersambung....
jadi jika di telisik penjajahan dankembalinya Belanda di Irian Barat justru diharapkan oleh Amerika karena intrik terselubungnya ingin menguasai tanah subur makmur dan kandungan emas yag berlimpah di dalamnya...super cerdik emangnya ya...atau kitanya yang bloon yah?
BalasHapusSepertinya kitanya yang masih belum mengerti strategi dalam mengelola kekayaan alam negeri, sehingga negara lain yang melihat peluang tersebut masuk dengan memberikan janji-janji yang pada akhirnya hanya membuat kecewa.
Hapuswah mash bersambung ya...kita selalu kecolongan kalau menyangkut harta terpendam kita justru orang lain yg lebih dulu tahu
BalasHapusIya, masih ada lanjutannya lagi Mbak soalnya terlalu panjang ulasannya. Benar bangad, setiap kali menyangkut masalah kekayaan alam, negeri tercinta ini selalu terlambat dan diperdaya oleh negara lain.
Hapus