Sekembalinya
dari Irian, Freeport dan East Borneo Company meneken kontrak kerjasama untuk
eksplorasi lebih lanjut. Almanak mencatat tanggal itu pada 1 Februari
1960.
Sementara itu,
di Indonesia, Presiden Soekarno telah habis kesabarannya dengan sikap Belanda
dan sekutu yang tak hirau dengan masalah Irian Barat. Bukan saja tak mendukung,
bahkan bukti sejarah mengungkap, Amerika dan negara sekutu berada dibalik
gerakan separatis di Maluku dan Sulawesi, yang ingin mendongkel posisi
Soekarno.
Presiden
Soekarno yang semula aktif menggagas Non Blok, alias negara yang tak memihak
Blok Amerika atau Uni Sovyet, memainkan skenario “seolah-olah” condong ke
negara-negara Blok Timur untuk mendapat sokongan. Soekarno kerap melayat ke
Beijing dan Moskow dan selalu disambut hangat oleh penguasa negara komunis itu.
Dalam banyak
referensi terungkap, bagaimana Amerika dan sekutu mulai blingsetan dengan
manuver Soekarno yang menjalin kemesraan dengan Blok Komunis. Dan sebuah
kebetulan pula, pada saat itu salah satu agent CIA bernama Allen Pope yang
menyusup ke Indonesia untuk menyokong pemberontakan Permesta, ditangkap setelah
pesawatnya ditembak jatuh di Morotai—Maluku Utara. Soekarno memegang kartu
truf.
Amerika yang
tak ingin Indonesia menjadi negara komunis karena posisi strategisnya di
kawasan Asia Pacific, serta upaya Washington untuk membebaskan Allen Pope,
dimanfaatkan Soekarno dengan sangat cerdik. Dalam lawatan ke Amerika atas
undangan Presiden John F Kennedy, pada April 1961, menjadi titik balik hubungan
Jakarta dengan Washington yang sebelumnya sarat konflik. Anda pernah melihat
foto bagaimana Soekarno dengan wajah sumringah di arak keliling Washington oleh
JF Kennedy dengan sedan terbuka? Nah, itulah moment hubungan mesra Indonesia -
Amerika.
Amerika yang
selama ini menjadi bumper Belanda soal Irian Barat, mulai mengubah haluan.
Amerika mulai mendesak Belanda untuk membicarakan kembali masalah Irian Barat
dengan Indonesia. Belanda tentu saja menolak. Tetapi Belanda tak berkutik
ketika Amerika mengancam akan menghentikan bantuan Marshall Plan ke
Belanda—paket ekonomi untuk negara sekutu yang hancur pasca perang.
Puncak dukungan
Amerika ke Indonesia soal Irian Barat adalah tatkala pada Maret 1962, Amerika
melalui diplomat seniornya di PBB, Ellwort Bunker merancang sebuah proposal
penyerahan Irian Barat dari Belanda ke Indonesia, serta berhasil menyeret
Belanda untuk duduk di meja perundingan setelah mangkir sejak KMB tahun 1949.
Di depan Amerika, Belanda tak berkutik, dan akhirnya pada 15 Agustus 1962,
Belanda dan Indonesia menandatangani perjanjian New York yang berisi
kesepakatan penyerahan Irian Barat ke Indonesia. Irian Barat menjadi wilayah
Indonesia tanpa perang besar.
Petinggi Freeport
geram tak kepalang dengan perubahan haluan politik Amerika di bawah JF Kennedy.
Rencana yang sudah dibangun dengan East Borneo Company—perusahaan Taipan
Belanda itu buyar di tengah jalan. Peluang untuk menggarap Ersberg seolah
tertutup rapat, setelah pada 1 Mei 1963, Irian Barat resmi berbendera merah
putih dan berganti nama menjadi Propinsi Irian Jaya.
Tapi masa bulan
madu Soekarno – JF Kennedy hanya seumur jagung. 22 November 1963, President
Kennedy ditembak mati oleh sebuah konspirasi yang hingga detik ini belum
terungkap motifnya.
Sementara di
Tanah Air, Soekarno tengah terlibat konfrontasi dengan Malaysia terkait wilayah
Kalimantan yang dituding oleh Soekarno akan dijadikan negara Boneka Inggris.
Jakarta meminta dukungan Amerika, tetapi Amerika di bawah Presiden Lyndon B
Johnshon enggan berseteru dengan Inggris. Soekarno meradang. Keluarlah kalimat
terkenal dari mulut Soekarno, “Inggris Kita Linggis. Amerika Kita Setrika”
sebagai ungkapan kemarahan Soekarno atas sikap Amerika dan Inggris. Hubungan
Amerika – Indonesia pun jatuh di titik paling nadir.
Di tanah air,
dukungan atas perintah Soekarno untuk menggayang Malaysia, ternyata tak bulat.
Sejumlah petinggi Angkatan Darat, diantaranya Jenderal Ahmad Yani dan kawan-kawan tak
memberikan dukungan penuh. Alasannya, mereka menilai isu Malaysia ini sekadar
pelampiasan ambisi politik luar negeri Soekarno sahaja. Satu-satunya komponen
yang mendukung bulat adalah Partai Komunis Indonesia. PKI mengirim banyak
relawannya untuk melakukan konfrontasi di garis depan. Moment inilah yang
menjadi salah satu pangkal kedekatan Bung Karno dengan PKI.
Di Amerika,
sepeninggal Kennedy, Washington menilai Jakarta tak ingat pamrih Amerika yang
telah mendukung pembebasan Irian Barat. Apatah lagi di sinyalir, Soekarno pasca
konfrontasi dengan Malaysia menjalin kedekatan dengan tokoh-tokoh komunis serta
memberikan kader-kader PKI posisi strategis di Pemerintahan.
Amerika yang
gerah lalu merancang sebuah skenario untuk menggulingkan Bung Karno, melalui
tangan beberapa jenderal Angkatan Darat yang telah dibina CIA.
Adalah sebuah
kebetulan yang menarik karena Augustus C Long, salah satu dewan direksi
Freeport yang berkarib dekat dengan President B Johnshon, beberapa bulan
sebelum peristiwa G 30 S PKI, ditunjuk sebagai anggota Dewan Penasehat
Intelejen Kepresidenan Amerika, dan terlibat aktif dalam mengendalikan CIA.
Yang pasti, beberapa kali sebelum peristiwa berdarah itu, Augustus C Long
terlihat mondar mandir ke Jakarta. Tentu tidak hendak pelesiran, bukan!
Tak perlu
berpanjang cerita, sebab kita telah paham alur cerita selanjutnya. Soekarno
tumbang dan Soeharto pun menjadi presiden kedua. Dan tak perlu diceritakan
bagaimana campur tangan CIA yang sarat peran dalam penggulingan Bung Karno,
serta naiknya pamor Soeharto.
Asa Freeport
yang sempat redup, merekah kembali dengan perubahan politik di Jakarta.
Langbourne Williams, salah satu petinggi Freeport di akhir tahun 1965 mengaku
telah diminta oleh pejabat gedung putih untuk bersiap-siap masuk ke Irian Jaya,
padahal saat itu Soekarno masih sebagai RI-1.
Tapi, Freeport
sepertinya sudah membaca arah politik di Jakarta. Freeport bergerak cepat,
dengan memakai jalur lobi yang telah dibangun oleh Augustus C Long. Melalui
tangan Ibnu Sutowo dan Julius Tahija, orang kepercayaan Soeharto, Freeport
menginisiasi pertemuan di Jenewa Swiss untuk merancang peraturan yang mengubah
kebijakan Bung Karno yang sebelumnya melarang investasi luar negeri di
Indonesia. Konsep dan naskah dari peraturan itu didikte dan dinarasikan oleh
Rockefeller—Konglomeret adidaya Amerika.
Dan Anda semua
mungkin sudah mafhum, peraturan pertama apa yang di teken Soeharto pasca
menerima kekuasaan sebagai presiden? Yup benar. Undang-Undang No 1 tahun 1967
tentang Penanaman Modal Asing menjadi Undang Undang perdana yang disahkan oleh
Soeharto, yang notabene disusun dan dibuat nan jauh di Jenewa.
Berentetan
setelah itu, Pemerintah Orde Baru meneken Undang-Undang Pokok Pertambangan No
11 tahun 1967, sebagai payung kegiatan penambangan yang dibutuhkan Freeport
untuk menginjakkan kaki di Irian Jaya. Tapi sebelumnya, pada 7 April 1967,
Freeport telah mendirikan usaha berbadan hukum Indonesia dengan nama PT
Freeport Indonesia.
Dan akhirnya,
di penghujung tahun 1967, salah satu cuplikan dalam sejarah Indonesia telah
tercatatkan: Pemerintah Indonesia menandatangani Kontrak Karya pertama yang
menyerahkan hak kelola sumber daya alam di Irian Jaya kepada Freeport. Gunung
Emas yang bernilai milyaran dolar amerika itu, dan di daulat sebagai salah satu
tambang emas, tembaga dan perak terbesar di dunia itu pun menjadi pundi-pundi
kekayaan Amerika hingga detik ini.
Tak salah jika
sampai saat ini masih banyak pemburu rente yang coba mencari celah untuk bisa
mencicipi kilau emas Freeport. Dan tak salah pula jika salah satu “papa dendi”
di negeri ini tergiur dan coba-coba meminta bagian dari Freeport agar bisa
rutin main golf dan membeli jet pribadi.
* * *
Jangankan
mereka, aku sendiri dan mungkin juga warga Indonesia lainnya yang hidupnya
pas-pasan pasti ingin dan tergiur juga. Bayangkan saja, menurut data 1% saja
kena cipratan hasil penjualan hasil tambang dari Freeport setara $1 juta. Jika
di rupiahkan uang sebesar itu bisa mencapai 13 Miliar lebih. Itu baru 1%
persen saja, sedangkan penghasilan Freeport dalam setahun sesuai data
mengalahkan APBN kita saat ini.
Siapa sih yang
gak mau dengan uang sebanyak itu? Jawabannya pasti semua mau, ya gak!
Makassar, 22 November 2015
baru tahu saya asal usul freeport ini mas, ternyata sudah dari jaman belanda dulu yo
BalasHapusYa, udah dari jaman dahulu kala.
Hapushore pertamax nih
BalasHapusSelamat, mas Purnama dapat hadiah gelas cantik.
Hapuswah mantab ni mas arif, ulasannya makin berat eui
BalasHapusTerima kasih untuk apresiasinya Mbak Gustyanita.
Hapustapi kan habislah kekayaan alam papua kalo terlalu di eksplore ya
BalasHapusEntahlah, apakah akan habis dalam waktu dekat atau sebaliknya.
Hapussaya tertarik sama konflik tiga negara (Indonesia, AS, Belanda)
BalasHapusternyata perjuangan kita merebut Irian Barat (Papua) itu tidak hanya dari perang saja ya mas, tapi juga lewat jalur diplomasi.
ini yang jarang kita tahu...
Makasih infonya yang membuka cakrawala baru bagi saya :)
Sama-sama mas Choirul Huda.
HapusIya nih, ternyata dibalik konflik ketiga negara tersebut terselip niat lain yang tidak kita duga.
Waaahhh menarik ya kajiannya mas Timur, saya suka sejarah soalnya, 1 % 13 milliar waduuuhhh kalo 99 % ??? :)
BalasHapusGak kebayang Mas kalau 99%.
Hapuswah aku jadi tau nih sejarahnya, ternyata ada andil politik ya
BalasHapusIya nih, gak taunya politik juga ikut andil dalam sejarah masuknya freeport ke Indonesia.
Hapus