Nuri
Maulida, Dok. Tribunnews/Jeprima
|
Jodoh,
rejeki, sukses, gagal, hidup, dan mati, hanya Tuhan yang tahu. Mungkin
gara-gara itulah kenapa sampai hidup itu penuh dengan misteri. Namun demikian,
tidak ada salahnya untuk selalu berusaha dan meminta kepada-Nya agar setiap yang
kita lakukan diberikan kemudahan. Di sisi lain, kita juga harus bisa menjadi
orang yang sabar dan pribadi yang menyenangkan bagi orang lain. Tak hanya itu
saja, kita juga harus yakin dan percaya bahwa apa yang kita lakukan suatu saat
nanti pasti akan mendapatkan balasan yang setimpal.
Bicara
tentang balasan yang setimpal, aku jadi teringat akan sebuah kisah yang penuh dengan
inspirasi. Sebuah kisah yang ternyata belakangan ini malah jadi sebuah tren disalah
satu media sosial, tepatnya Facebook. Saking menginspirasi, hampir
setiap hari aku menemukan kisah ini dibagikan oleh pengguna facebook di
dindingnya masing-masing.
Lalu
seperti apakah kisahnya? Berikut aku lampirkan ceritanya di bawah ini. Semoga
ada manfaatnya buat pembaca sekalian!
* * *
Seminggu
lagi, aku akan menikah, tetapi hari ini aku masih di sini, kota besar, sendiri
memikirkan nasib. Tidak ada uang, tidak ada mobil, tidak ada pekerjaan, tidak
ada apa-apa selain, handphone murah, dan oh... handphoneku ini juga tak ada
pulsanya.
Sewa
kontrakan pun belum aku bayar, tetapi aku akan menikah seminggu lagi. Acaranya
sederhana, menikah dengan gadis kampung sebelah, di rumah keluarga gadis itu,
dan aku juga tidak kenal siapa gadis itu. Orang tuaku yang mengaturnya, dan aku
masih berpikir, mengapa orang tua gadis itu mau menikahkan anaknya dengan
seorang laki-laki seperti aku.
Aku
lelaki yang apabila ditanya apa kerjanya, aku tidak tahu bagaimana harus
menjawab. Aku memang bekerja, tetapi hanya kerja sambilan di hotel, membantu
kawan-kawan yang berjualan online di internet, dan sesekali mengikuti seminar
MLM. Kebanyakan waktu dihabiskan duduk-duduk di kontrakan, menatap surat kabar
untuk mencari kerja.
Lalu,
atas atas dasar apa ayah dan ibu gadis itu, mau menikahkan anaknya denganku,
dan hantaran kawinnya, cuma senaskah Al Quran, dan mas kawin cuma Rp. 250.000.
Lebih mengherankan, semua biaya acara ditanggung oleh keluarga si gadis.
Kenapa?
Aku semakin tidak mengerti, kok mau orang tua gadis itu, mengawinkan aku dengan
anak perempuannya yang cantik, yang berkerudung rapi. Ya, aku sudah melihat
fotonya, dan karena kecantikannya, aku walaupun dengan semua keheranan itu,
setuju juga dengan pernikahan yang diatur oleh keluarga ini. Ditambah,
perempuan itu lulusan universitas luar negeri, bekerja sebagai pegawai negeri
yang gajinya, cukup untuk membayar angsuran mobil BMW.
Pada
mulanya, aku pikir aku ibarat tikus yang jatuh ke dalam gudang beras, tapi ketika
acara semakin dekat, aku mulai berpikir, mungkin ada yang disembunyikan oleh
keluarga si gadis. Apakah foto yang diberi sama dengan wajah asli perempuan
itu? Apakah perempuan itu sebenarnya janda? Atau yang paling menakutkan,
jangan-jangan perempuan itu sedang mengandung anak orang lain, dan aku menjadi
'ayah' untuk anak itu.
Dari sinilah kisahku dimulai.
* * *
Tengah
hari itu aku nekat pulang ke kampung halaman. Aku nekat, mencari tahu latar
belakang calon istriku, dan mengapa ibu bapaknya, mau melepaskan anaknya kepada
laki-laki seperti aku. Cuma, aku tidak tahu bagaimana cara untuk mencari tahu.
Selama di dalam bus, aku beruntung duduk di sebelah seorang laki-laki yang ramah.
Kepada
laki-laki itu aku bertanya, “Bagaimana cara cari tahu latar belakang calon
istri kita?”
“Mudah
kok. Kalau dia ada FB, buka FB dia, atau cari saja nama lengkapnya di internet.
Nanti ada lah informasi tentang dia. Kalau susah, pergi tempat kerjanya, tanya
kawan-kawannya, atau tanya saudara-saudaranya.”
Untuk
mencari tahu tentang calonku itu di internet, nama lengkapnya saja aku tidak
tahu. Aku cuma di beritahu, namanya Sarimah. Berapa banyak orang punya nama
Sarimah di internet? Banyak! Lalu aku ambil nasihat kedua dari laki-laki itu,
tanya rekan-rekan sekerjanya, dan mujur aku tahu gadis itu bekerja di kantor
Bappenas.
Sampai
di kampung, aku pinjam motor ayah, lalu pergi ke kantor Bappenas. Aku tidak
tahu apa jabatannya, tetapi kantor sebesar itu, pasti banyak orang yang namanya
sama. Tetapi agak tidak logis juga kalau aku langsung masuk ke kantor dan
bertanya tentang calon istriku. Lalu akhirnya aku ambil keputusan menunggu dan
memperhatikan di seberang jalan.
Aku
pikir, mungkin pada waktu makan tengah hari, Sarimah dan kawan-kawannya akan
keluar, dan apabila sudah ingat wajah kawan-kawannya, setelah pulang nanti
boleh lah saya tanya tentang Sarimah. Itulah rencanaku, rencana yang diatur
dengan baik. Lalu aku pun duduk di atas motor menghadap kantor Bappenas yang
cuma satu beberapa meter di depanku.
Kemudian
datang pula rasa menyesal, sebab pada jam 11 pagi, cuaca sudah terik. Di situ
belum ada pohon yang rindang, karena semuanya baru saja di pangkas dahannya.
Sudah panas terik, satpam di luar kantor mulai memperhatikanku. Bukan Cuma
satpam, malah orang yang lalu lalang di situ turut memperhatikan.
Aku
lupa, jam kantor seperti itu, segala perbuatan yang tidak biasa akan jadi
perhatian. Perbuatanku, yang duduk di depan kantor bukan perkara biasa. Nampak
terlalu aneh.
Akhirnya,
aku semakin menyesal karena dari jauh aku lihat seorang perempuan keluar dari
kantor. Semakin dekat perempuan itu, semakin aku berdebar. Wajahnya semakin
jelas, dengan kerudung kuning muda, dan baju kurung biru muda. Dia adalah calon
istriku, yang Cuma aku kenal namanya. Sarimah. Hanya itu.
Aku
sempat berpikir untuk menghidupkan motor dan kemudian pergi dari situ. Tetapi
semuanya sudah terlambat, kemudian Sarimah berkata, “Kamu Salman?”
Aku
memberikan senyuman yang paling terpaksa pernah aku buat. Lebih terpaksa
daripada senyum terpaksa apabila bertemu dengan guru semasa sekolah dahulu.
“Ya,
saya. Kok kamu bisa tahu?”
“Kawan
di kantor yang beritahu, katanya ada laki-laki di seberang jalan. Mereka
menggodaku, katanya mungkin aku kenal, dan aku pikir wajahmu sama dengan foto
yang ditunjukkan oleh ibu.”
Satu
kantor pun tahun aku menunggu disini?! Duh! Payah betul caraku mencari
informasi ini. Kemudian aku memerhatikan wajah Sarimah, dan ternyata wajah
aslinya jauh lebih cantik daripada wajah di foto. Mungkin karena itu pass foto.
Orangtuanya pun hanya memberikan satu foto. Entahlah, ibu dan ayahku pun
mungkin memberikan pas fotoku. Ketika itu juga aku merasa jantungku berdebar,
karena saat mengambil foto itu, aku baru saja bangun tidur.
Aku
perhatikan pula perutnya, tetapi tidak nampak ada tanda-tanda perempuan
mengandung. Saat aku memperhatikan, terasa tangannya menyilang menutupi
perutnya, dan aku malu karena ketahuan memperhatikan perutnya. Pasti dia sadar
kalau aku memperhatikan perutnya, entah apa yang dia pikirkan sekarang.
Aku
rasa, Sarimah ini adalah perempuan yang berani. Berani untuk keluar berjumpa
denganku. Kalau perempuan lain, tentu mereka tidak berani. Barulah aku sadar,
inilah pertemuan pertamaku dengan calon istri aku. Pertemuan dalam keadaan yang
agak aneh.
Selepas
pertanyaan itu, kami terdiam. Kami hanya berdiri di tepi jalan raya, sambil
memandang ke arah yang sebenarnya agak aneh untuk dipandang. Aku memandang ke
ujung jalan, dan Sarimah memandang ke arah motor ayahku.
Aku
tahu, ini keadaan yang tidak betul dan aku sebagai laki-laki perlu menunjukkan
contoh yang baik kepada calon istriku. Jadi, selepas puas berpikir dan
memberanikan diri, aku berkata, “Sudah makan?”
“Saya
sedang diet.”
Nasib
baik bagiku dia bilang sedang diet. Bagaimana kalau dia bilang, ayo kita makan,
aku akan sangat jahat sekali, karena di dalam dompetku cuma ada uang dua puluh
ribu rupiah. Mana cukup. Setelah itu, keadaan kembali sepi.
“Aku
mau kembali ke kantor,” kata Sarimah sopan dan membuatku lega.
“Aku
juga mau pulang,” balasku, dan ternyata, rasa legaku tidak berlangsung lama.
“Malam
ini datanglah ke rumah.”
“Datang
ke rumahmu?”
“Iya,
makan malam dengan keluargaku.”
Aku
terdiam. Berdebar-debar.
“Jemputlah
sekalian ayah dan ibumu kalau mereka tidak ada halangan.”
“Baiklah,
selepas maghrib insya Allah aku sampai.”
Sepanjang
perjalanan pulang, aku merasa tidak puas hati dengan diriku. Mengapa aku
tiba-tiba menjadi kaku? Seharusnya, pada waktu itulah aku banyak bertanya dan
mencari tahu kenapa dia dan keluarganya memilih aku.
Cuma
malam ini aku merasa sedikit bingung. Alamat rumah Sarimah, aku bisa tanya
ayahku, tapi mungkinkah aku patut bawa ayah dan ibuku sekaligus? Tidak..
Tidak.... Bukannya aku tidak mau, biasanya kalau ada ibu, habis semua rahasia
anaknya dia ceritakan. Beliau senang sekali menceritakan rahasia anaknya.
Lagi pula
aku ada banyak rahasia yang tidak patut Sarimah dan orangtuanya tahu. Rahasia
yang paling aku takuti dibocorkan oleh ibu adalah hampir setiap bulan aku masih
meminta uang kepada ibuku. Memang memalukan, tetapi untuk pergi seorang diri,
aku juga tidak berani.
Akhirnya,
aku punya ide paling bagus. Aku melajukan motor ayah langsung ke rumah kawan
lamaku, Rudy. Bukan sekedar kawan lama, tetapi juga sahabat karib. Aku yakin
dia ada di rumah, karena dia juga senasib denganku, belum ada pekerjaan tetap.
Bedanya, dia bertarung hidup di kampung, dan aku bertarung hidup di kota.
Sesampainya
di rumah Rudy, aku lihat Rudy sedang duduk di tangga sambil bermain gitar.
Itulah kemampuan Rudy yang sangat aku cemburui. Aku tidak pandai bermain gitar,
bahkan tak tahu caranya.... oh... ada lagi rupanya kemahiran Rudy yang tidak
aku miliki. Rudy pandai menggoda gadis dengan bermain gitar, dan Rudy sangat
berani berhadapan dengan perempuan, tidak seperti aku. Itulah akibatnya, aku
tidak punya keyakinan apabila berhadapan dengan perempuan.
“Lama
banget kau gak muncul,” kata Rudy saat aku duduk di sebelahnya.
“Masa
lama sih. Baru juga dua bulan lebih.”
“Lama
itu.”
Aku
diam, dan coba mendengarkan petikan gitar lagu rock terkenal, 'Suci Dalam
Debu'. Aku coba menyusun kata untuk mengajaknya menemaniku malam ini, tetapi
belum ada kata yang bagus.
“Aku
dengar seminggu lagi kau mau nikah. Kok gak ngundang?” kata Rudy, dan itu
secara tidak langsung memberikanku jalan untuk melaksanakan rencanaku.
“Ini
acara pihak perempuan, jadi mereka cuma ngundang kerabat perempuan aja.”
“Kerabatmu
gimana?”
Aku
diam, karena aku tidak tahu bagaimana menyampaikannya. Sebab dengan keuanganku
sekarang, hidang mie goreng kepada tamu pun aku tidak mampu.
“Lihat
nanti saja lah. Kalau nanti kau sampai ke rumah ku, kau pergi dulu saja.”
Rudy
semakin mengencangkan petikan gitarnya. Kini lagu Adele pula, 'Someone like
you'. Entah mengapa, lagu yang temanya kecewa saja yang dia mainkan saat ini.
“Dia
cantik gak?” Rudy memandang dengan senyuman penuh berharap.
“Cantik.”
“Gimana
bisa kenal dia?” Senyuman Rudy kini semakin tinggi harapannya. Harapan jenis
apa aku tidak tahu. Mungkin harapan untuk melihat aku bahagia. Walaupun aku
merasa seperti Rudy pasti berpikir tidak logis aku mendapatkan gadis cantik.
“Ayah
dan ibuku yang menjodohkan. Aku terima saja.”
“Kau
belum pernah ketemu dia?”
“Baru
tadi.”
“Memang
dia cantik?”
“Memang
cantik.”
Rudy
kini memperlihatkan wajah orang yang sedang gusar dan berpikir panjang.
“Apa
pekerjaannya?”
“Pegawai
di Bappenas. Aku tidak tahu jabatannya. Tetapi ibuku bilang, dia punya jabatan
cukup tinggi.”
“Hmm...
Dia cantik, pekerjaan bagus, tapi kok dia mau kawin denganmu? Heran.”
Aku
menelan liur. Nampaknya Rudy juga sudah merasa ada sesuatu yang tidak benar.
Dia pandangi wajahku.
Rudy
menyambung, “Kau, ganteng juga nggak. Heran-heran.”
Aku
tersenyum pahit. Aku akui, aku memang tidak tampan dan itu pun sebenarnya
merisaukanku juga.
“Kau
tidak heran?” tanya Rudy.
“Ya
heran juga sih.”
“Kau
sudah periksa latar belakang perempuan itu?”
Aku
pandangi wajah Rudy. Akhirnya peluangku tiba.
“Malam
ini kau ikut aku. Temani aku ke rumah calonku itu.”
“Hah?
Buat apa?” Rudy memandang heran.
“Dia
ajak aku makan malam di sana. Ketemu dengan ayah dan ibunya. Nanti itu, baru
akan aku cari tahu latar belakangnya.”
“Kau
pergi sajalah sendiri.” Rudy kembali memetik gitar.
“Kamu
kayak gak tahu aku. Aku segan. Aku butuh kamu temani aku. Kamu kan berani, mungkin
kamu bantu aku kepo juga.”
“Kepo?
Kepoin apa?”
“Tanyain
lah hal-hal yang bisa ditanyain. Kamu kan berpengalaman dalam dunia percintaan.
Pasti bisa bantu aku.”
Akhirnya,
setelah lama aku bujuk, Rudy pun setuju.
Malam
itu, walaupun aku sudah salin alamat dari ayahku, tetap saja aku tersesat. Aku
sampai selepas Isya, bukannya selepas Maghrib. Aku lihat makanan sudah
terhidang di atas meja, dan nampak sudah dingin. Mungkin perut Sarimah dan
orang tuanya juga sudah lapar.
“Maafkan
saya karena terlambat.”
“Gak
apa-apa, masuklah,” kata seorang lelaki yang sebaya ayahku. Mungkin dia adalah
ayah Sarimah dan calon ayah mertuaku.
“Ooo...
Ini dia Salman. Ayahmu bilang kamu akan pulang lusa, kok cepat bener baliknya?”
tegur seorang perempuan, yang aku yakin adalah ibu Sarimah.
“Ada yang harus diurus dulu di rumah,” balasku dan kemudian berkata, “Kenalkan ini kawan saya Rudy. Ibu dan ayah saya tidak bisa datang.”
Kemudian, Sarimah keluar dari dapur dan dia kelihatan sangat cantik. Tertegun aku dan aku sempat melihat wajah Rudy yang ikut tertegun.
“Beruntung kamu,” bisik Rudy.
“Ada yang harus diurus dulu di rumah,” balasku dan kemudian berkata, “Kenalkan ini kawan saya Rudy. Ibu dan ayah saya tidak bisa datang.”
Kemudian, Sarimah keluar dari dapur dan dia kelihatan sangat cantik. Tertegun aku dan aku sempat melihat wajah Rudy yang ikut tertegun.
“Beruntung kamu,” bisik Rudy.
Selepas
makan, kami duduk di ruang tamu dan pada waktu itulah, aku lirik-lirik Rudy
supaya mulai menjalankan rencananya.
“Kata
Salman, ini pertama kali dia berjumpa dengan bapak dan ibu ya. Malah dengan
Sarimah pun baru tadi ketemu.” kata Rudy, dan aku mulai berdebar-debar.
“Iya, ini pertama kalinya. Sebelumnya, kami lihat wajahnya dalam pass foto yang diberi oleh ibunya.” jawab ayah Sarimah.
“Iya, ini pertama kalinya. Sebelumnya, kami lihat wajahnya dalam pass foto yang diberi oleh ibunya.” jawab ayah Sarimah.
Aku
semakin berdebar-debar. Ibuku ngasih pas foto? Ah, sudah! Matilah aku!
“Tidak
sangka, orang aslinya ganteng juga.” sambung ibu Sarimah.
Aku
mulai merasa pipiku panas. Jarang sekali ada orang yang memuji aku tampan.
Kalaupun ada, pasti ada maksudnya. Atau mungkin, ibu Sarimah hanya ingin
menjaga perasaanku.
“Itulah
saya heran. Karena Salman bilang, orangtuanya yang mengatur. Gak nyangka, zaman
sekarang masih ada ya pernikahan yang diatur oleh orang tua. Apa rahasianya
Pak?” Rudy memang tidak menunggu lama, terus saja dia bertanya sambil
ketawa-ketawa kecil. Jadi, walaupun ini persoalan serius, tetapi ia nampak
seperti bergurau.
“Tidak ada rahasia apa-apa. Emang Salman gak ngasih tahu kamu?”
Rudy memandangiku, kemudian dia pandangi ayah Sarimah dan menggeleng.
“Tidak ada rahasia apa-apa. Emang Salman gak ngasih tahu kamu?”
Rudy memandangiku, kemudian dia pandangi ayah Sarimah dan menggeleng.
Lalu
aku bilang, “Sebenarnya saya pun tidak tahu apa-apa.”
“Kamu
tidak tanya ayah dan ibumu?”
Pada
saat itulah, aku mulai merasa menyesal. Ya, aku tidak tanya pun kepada ayah dan
ibuku mengapa beliau memilih Sarimah. Yang aku tahu, ibuku cuma tanya, “Mau ibu
carikan kamu jodoh?” Aku pun menjawab, “Boleh.” Tiba-tiba, dua minggu kemudian,
aku sudah bertunangan dan dalam satu bulan akan menikah. Itupun tunangan pakai
uang ibuku. Memalukan betul.
“Saya
tidak tanya.”
Ayah
Sarimah mulai ketawa kecil.
“Begini,
saya dan ayah kamu itu memang sudah lama kenal. Suatu hari, ngobrol-ngobrol di kedai
kopi, kami bercerita tentang anak masing-masing, kemudian bercerita tentang
jodoh, dan akhirnya, terus kepada rancangan mau menjodohkan anak masing-masing.
Setelah itu, inilah yang terjadi,” jelas ayah Sarimah.
“Begitu
saja Pak? Mudah sekali ya!” Rudy nampak terkejut, dan aku pun sebenarnya agak
terkejut juga. Ya, mudah sekali ternyata.
Ibu
dan ayah Sarimah hanya tersenyum lebar.
Ayahnya
berkata, “Tidaklah semudah itu. Kami pun mau yang terbaik untuk anak bungsu
kami. Kami pun mencari tahu latar belakang Salman.”
“Jadi
Bapak tahu Salman ini menganggur dan tidak punya duit?” tanya Rudy, membuat aku
geram tetapi dalam saat yang sama merasa sangat malu. Tiba-tiba aku berdoa
supaya tubuhku menjadi kecil, supaya aku bisa menyembunyikan bukan saja muka, tetapi
seluruh tubuhku di balik bantal.
“Tahu,”
jawab ayah Sarimah sambil ketawa kecil lagi.
“Jadi?”
Rudy bertanya sambil memutar tangan kanannya. Aku rasa, sebenarnya Rudy mau
bilang, “Jadi, mengapa masih pilih Salman?” Mungkin karena tidak sampai hati,
dia cuma pakai isyarat tangan saja. Ya, aku tahu betul sebab sudah lama aku
kenal Rudy.
“Itulah
yang diberitahu oleh ayahnya. Katanya, anak dia tidak tampan, tidak ada
pekerjaan tetap, dan malah, bulan-bulan masih minta duit dari ibunya. Tetapi,
dari situlah Bapak tahu, Salman ini akan menjadi suami yang baik.” Ayah Sarimah
tidak lagi tersenyum, sebaliknya memandangku dengan wajah serius. Aku terus
menunduk malu. Malunya aku. Rupanya mereka sudah tahu kalau aku ini masih minta
duit selama berbulan-bulan kepada ibuku.
“Jadi?”
Rudy sekali lagi menggerak-gerakkan tangannya.
“Ayahnya
juga bilang, anaknya sering menelepon kampung, paling tidak dua kali seminggu.
Dan, walaupun dia tidak punya pekerjaan tetap, kerjanya pun tidak menentu
dengan gaji yang kecil, tetapi setiap kali mendapat gaji, ayahnya memberitahu,
dia tidak pernah lupa memberikan sedikit kepada ibunya. Walaupun cuma dua ratus
ribu. Jadi, bayangkan walaupun hampir tiap bulan dia kekurangan uang, tapi dia
masih mau membantu orang tua. Itulah namanya tanggung jawab!”
Aku
tertegun. Aku sebenarnya tidak menyangka ayahku menceritakan perkara itu juga
kepada ayah Sarimah.
“Ooo...
Tanggung jawab,” Hanya itu kata Rudy sambil mengangguk-angguk.
Ayah
Sarimah menyambung perkataannya, “Tanggung jawab itu, bukan saat kita kaya saja.
Tanggung jawab itu adalah sesuatu yang kita pegang di saat kita susah dan senang. Lalu, dalam rumah tangga, tidak selamanya senang. Lebih banyak saat
susahnya. Jadi, Bapak akan lega, karena tahu anak Bapak berada dalam tangan laki-laki
yang bertanggung jawab.”
“Betul
juga ya Pak. Lagi pula, Salman ini setahu saya dia tidak pernah lupa shalat dan
tidak punya pacar, karena dia takut perempuan, hehe.” tambah Rudy yang membuat
aku tersipu-sipu. Tidak kusangka Rudy memujiku.
“Shalat
itulah perkara utama yang Bapak tanya kepada ayahnya, dan pacar pun Bapak
tanya.” Ayah Sarimah kembali tertawa kecil.
“Susah
mau cari orang seperti Bapak di zaman ini. Zaman sekarang, semua mau menantu
kaya,” tambah Rudy lalu terlihat wajahnya tiba-tiba murung. Mungkin dia sedang
bercerita tentang dirinya sendiri secara tidak sadar.
“Dulu,
waktu Bapak menikahi ibu Sarimah, hidup Bapak pun susah. Bapak juga orang
susah, cuma bekerja sebagai pembantu pejabat, sedangkan ibu Sarimah itu anak
orang kaya di kampung. Alhamdulillah, keluarga istri Bapak termasuk yang
terbuka. Lalu, kenapa Bapak tidak memberi peluang kepada orang yang susah,
sedangkan Bapak dulu pun diberi peluang. Yang penting, dia susah bukan karena
dia malas, tetapi karena memang belum rezeki. Beda sekali, orang malas dengan
orang yang belum ada rezeki. Kalau susah karena duduk-duduk di rumah dan tidur
berguling-guling, memang Bapak tidak akan terima,” jelas ayah Sarimah dengan
panjang lebar.
Aku
berasa mulai sedikit lega. Tidak kusangka, begitu pikiran ayah dan ibu Sarimah.
Perlahan-lahan, perasaan maluku itu mulai berkurang. Perlahan-lahan juga,
perasaan curigaku kepada Sarimah ikut berkurang.
“Anak
Bapak hebat juga. Dia mau nurut kata Bapak. Zaman sekarang, biasanya semuanya
sudah punya pacar,” kata Rudy. Aku tahu, Rudy juga sedang memasang umpan untuk
mengetahui latar belakang Sarimah sekaligus. Aku kembali berdebar-debar.
“Alhamdulillah.
Bapak sangat bersyukur diberi anak seperti Sarimah. Awalnya, Bapak khawatir
juga, tetapi setelah satu minggu, Sarimah bilang setuju. Cuma Bapak tidak tahu
apa yang membuat diadia setuju, mungkin Salman bisa tanya dia sendiri setelah
menikah nanti,” kata ayah Sarimah, lalu dia, istrinya dan Rudy tertawa bersama.
Tinggal aku dan Sarimah saja yang duduk diam-diam malu. Sempat aku melirik
Sarimah, dan bertanya dalam hati, “Mengapa kamu mau dengan lelaki seperti aku?'
Alhamdulillah.
Allah mudahkan usaha kami. Aku sudah sah menjadi suami Sarimah, dan setelah
bersalaman dengan Sarimah, rasa gentar dan maluku kepada Sarimah mulai
berkurang. Malah aku mulai memanggilnya, 'sayang'. Lalu setelah resepsi, aku
dan Sarimah masuk ke dalam kamar, berdua-duan untuk pertama kalinya.
Dalam
hati, masih kuingat pertanyaanku pada malam aku bertemu ayah dan ibu Sarimah.
Kini pertanyaan dalam hati itu aku nyatakan dengan lidah, “Sayang, mengapa kamu
setuju untuk menikah dengan laki-laki sepertiku? Laki-laki yang belum tentu
masa depannya, dan mungkin juga membuat dirimu menderita.”
Tidak
kusangka, pertanyaan melalui lidahku menjadi lebih panjang dan detil dari
pertanyaan dalam hati.
Sarimah
yang saat itu sedang duduk malu-malu, memandangku lalu mencium tanganku, dan
berkata, “Ampuni Sarimah bang, ampuni Sarimah.”
Aku
mulai berdebar-debar dan tidak enak hati.
“Ampuni
apa sayang?”
“Sebab,
Sarimah sebenarnya sempat curiga juga dengan Abang. Sarimah sempat tidak yakin
dengan Abang. Malah Sarimah minta tolong kawan Sarimah, yang kebetulan tinggal
bersebelahan dengan Abang di kota supaya mencari tahu latar belakang Abang.
Malah, Sarimah juga solat iskhtikarah hanya karena ragu-ragu kepada Abang.”
Debar
jantungku kembali menurun. Rupanya, Sarimah lebih dulu mencari tahu latar
belakangku? Malunya aku. Tetapi sekarang dia sudah jadi istriku, lalu aku
angkat kepalanya dan kupandangi matanya.
“Abang
ampunkan. Abang pun minta maaf, sebab Abang pun pernah juga berasa curiga
kepadamu.”
Sarimah
tersenyum. Bukan senyum manis biasa, tetapi senyuman seorang perempuan yang
bahagia, dan senyuman itu sangat ajaib karena ikut membuat aku merasa bahagia.
Mungkin inilah perasaan bahagia yang datang karena kita membahagiakan orang
lain. Tetapi pertanyaanku tadi masih belum terjawab sepenuhnya.
“Jadi,
apa kata kawanmu?” lanjutku ingin tahu. Aku risau, takut kawannya membicarakan
yang tidak-tidak.
“Katanya,
Abang ini tidak punya pekerjaan tetap. Motorpun pinjam punya teman, tapi
katanya dia selalu melihat Abang membaca koran untuk mencari kerja, mengirim
surat lamaran, dan selalu memeriksa kotak surat kalau-kalau ada surat lamaran
yang dibalas. Maksudnya, Abang ini orang yang rajin berusaha. Katanya lagi, dia
tidak pernah melihat Abang keluar dengan perempuan. Shalat pun pasti Abang
berjamaah.”
Aku
mulai tersipu malu. Takut ketahuan kalau aku tersipu, aku pun bertanya, “Tetapi
orang secantik dirimu pasti banyak orang yang tertarik kan? Pasti banyak yang
mau meminang dirimu, dan mungkin pasti juga yang ada sudah datang ke rumah
untuk meminang.”
Sarimah
sekali lagi tersenyum.
“Ya,
memang banyak laki-laki yang mencoba dekat dengan Sarimah, tetapi Sarimah
sangat takut. Sarimah ingat dengan kakak”
“Mengapa
dengan kakak, sayang?” tanyaku segera.
Sarimah
pun bercerita panjang lebar, dan aku baru tahu kalau kakaknya sudah meninggal.
Kakak Sarimah dulu juga seorang perempuan cantik, dan banyak laki-laki yang
meminangnya. Akhirnya, dia menikah dengan lelaki pilihan hatinya sendiri.
Laki-laki yang tampan, berpendidikan tinggi, dan bekerja dengan gaji yang
lumayan. Sayangnya, setelah satu tahun menikah, suami kakaknya mulai berubah
karena belum juga mendapatkan anak. Dia mulai pulang terlambat, dan suka
marah-marah.
Bahkan,
suaminya sampai di PHK karena krisis ekonomi. Hidup mereka menjadi susah, dan
suaminya juga semakin banyak berubah. Dia sudah tidak pulang berhari-hari,
apabila pulang, hanya untuk meminta uang, marah-marah dan memukul istrinya.
Kemudian terungkaplah bahwa selama ini suami kakaknya itu sudah memiliki
perempuan lain. Lalu pada hari itu, dengan hati yang kusut, kakak Sarimah gagal
mengendarai mobilnya hingga kecelakaan dan meninggal dunia. Diakhir ceritanya
itu, aku langsung menggenggam tangan Sarimah erat-erat.
“Karena
itulah, Sarimah takut kalau mau menerima laki-laki sembarangan dalam hidup
Sarimah. Malahan, Sarimah juga sebenarnya sudah mengamanahkan ayah dan ibu
untuk mencari laki-laki yang sesuai untuk Sarimah. Biar tidak kaya, biar tidak
tampan, tetapi lelaki itu mampu membahagiakan hidup dengan kasih sayang dan mendamaikan
hati dengan agama.”
Akhirnya,
semuanya sudah jelas. Kenapa ayah dan ibu Sarimah memilih laki-laki sepertiku,
dan mengapa Sarimah menerimaku dalam hidupnya. Genggaman tanganku semakin kuat.
“Abang...
Tolong jaga Sarimah. Jaga dan mohon jangan lukai hati Sarimah. Mohon bang,”
rayu Sarimah dan air matanya pun mulai menggenang, dan kemudian menetes di
pipinya yang cantik. Aku segera menyeka air mata Sarimah.
“Abang
bukanlah laki-laki terbaik, dan Abang tidak mampu berjanji menjadi suami yang
terbaik untukmu. Abang cuma mampu berjanji, Abang berusaha menjadi laki-laki
yang terbaik itu, dan berusaha menjadi suami yang terbaik untukmu,” kataku
perlahan, dan Sarimah terus memelukku. Aku merasa, bahuku sudah basah dengan
air mata Sarimah.
Karya : Bahruddin Bekri
Seperti sudah pernab baca cerita ini di facebook. Ada hal lain yg saya tangkap. Semakin banyaknya perempuan cerdas yg bekerja, membuat semakin banyak laki-laki kekurangan kesempatan utk bekerja. Nggak sedikit saya temui suami menganggur, istri punya pekerjaan bagus di kantor.
BalasHapusIya, akhir-akhir ini ramai di facebook. Sudah lama ceritanya, saya awalnya taunya dari sebuah blog juga sebelum ramai kaya sekarang ini.
HapusSoal kerjaan gak tau juga, cuma kenyataan sekarang perusahaan lebih banyak nerima perempuan daripada laki-laki.
udah jarang yg model begini yak, btul apa kata si rudy, rata2 yg dilihat materi
BalasHapusSangat jarang sekali menemukan wanita dan keluarganya yang seperti itu dan benar sekali, zaman sekarang selalu luar atau materi yang di dahulukan.
Hapuscerita ini kayak dah pernah dibaca di Facebook sebelumnya hehehe
BalasHapusYa, akhir-akhir ini baru ramai dibagikan di facebook ini cerita. Daripada saya bagikan lewat facebook, mending saya pindahkan lewat blog saja karena di facebook rata-rata teman saya adalah anak teknik yang notabene cowo. Hehehe...
HapusSemoga jadi keluarga sakinah mawadah wa rohma hehehehe
BalasHapusSemoga, amiiin...
Hapuscerita ini saya pernah baca di fb :)
BalasHapusYa benar sekali, akhir-akhir ini ramai sekali dibagikan di facebook.
Hapuskirain ini cerita aslinya pemilik blog :)
BalasHapusHehe..sama :D
HapusGak kok Mbak, cuma keseringan masuk lewat dinding facebook saya. Akhirnya, saya ambil keputusan buat mindahin ke blog saja.
HapusHehehe... banyak juga yang kaget, termasuk Mbak Irly.
Hapuskaya di film ya ceritanya, tapi memang di kehidupan nyata ada juga yang seperti ini. Sama kay ambak Kania kirain sudah mulai menulis cerpen
BalasHapusHehehe...
HapusDo'a in saja Mbak biar bisa nulis cerpen juga.