Hari
raya kurban baru saja berlalu. Seharusnya di hari raya yang identik dengan
pengorbanan ini hati kita semua kembali bersih dari berbagai hal negatif, baik
itu sifat egois, suka memfitnah, prasangka buruk, dan lain sebagainya yang
semacam. Apalagi saat ini kita hidup di era globalisasi dan era digital, dimana
media sosial menjadi pembeda dan jelas-jelas kehadirannya sudah tidak
terelakkan lagi bagi masyarakat Indonesia khususnya. Terbukti dengan banyaknya
media sosial yang dimiliki setiap orang, baik yang tinggal di perkotaan maupun
daerah terpencil sekalipun.
Kehadiran
media sosial sudah tentu membawa angin segar dan perubahan tersendiri bagi
penggunanya, atau tepatnya energi positif. Namun kita semua tetap harus
hati-hati, karena dibalik sisi positif, pasti ada sisi lain yang bertolak
belakang dengannya. Yah, ibaratkan mata uang koin, tetap mesra dan terus
berdampingan meski memiliki dua sisi yang berbeda. Yang artinya, di sisi lain ada
tantangan yang harus kita taklukan bersama.
Sisi
lain yang saya maksud, tak lain adalah mulai menghilangnya sesuatu yang selama
ini menjadi diri atau ciri khas kita sebagai orang Indonesia atau orang timur.
Ya, identitas bangsa seakan bukan lagi point utama yang patut diperjuangkan.
Dengan hadirnya media sosial malah muncul sesuatu yang baru, seperti
masing-masing mulai menonjolkan kehebatannya, merasa paling pintar, paling tau,
paling benar dan orang lain tidak ada apa-apanya. Tak hanya itu saja, budaya
konsumtif dan hedonisme pun hampir merata di seluruh negeri.
Yang
paling mengerikan lagi, media sosial dijadikan sebagai arena untuk saling
membully, mencaci maki, merendahkan sesama, memecah belah persatuan dan
kesatuan yang selama ini menjadi pedoman kita. Isu SARA pun tak ketinggalan
dijadikan senjata untuk menjatuhkan orang yang tidak disukai, bahkan meski
sebelumnya pernah menjadi teman akrab atau sahabat. Budaya gotong-royong,
tolong-menolong dan toleransi pun perlahan-lahan disingkirkan dari dalam diri
hanya demi sebuah ego dan mainan baru bernama media sosial. Semakin miris lagi,
koar-koar diperbanyak dan aksi nyata malah berkurang.
Gara-gara
media sosial, semuanya menjadi retak dan hancur berantakan bak piring kaca yang
jatuh ke lantai. Jejak Bhineka Tunggal Ika yang sudah lama dibangun oleh
pendahulu kita malah seperti menghilang dibawa angin dan bak di telan bumi
akibat ulah orang-orang yang lebih mementingkan egonya. Jejak-jejak bulan suci
ramadan yang belum lama berlalu dan hari raya kurban yang baru dua hari kita
rayakan seakan tidak meninggalkan bekas sama sekali. Bahkan sampai-sampai ada
yang membawa rasa kebenciannya ke dalam ibadah yang sedang dijalankan. Padahal
setahu saya, dalam menjalankan beribadah seharusnya segala prasangka buruk, ego
dan sifat negatif lainnya tidak boleh ikut dibawa-bawa. Karena yang namanya
beribadah tujuannya untuk menghadap kepada sang Ilahi agar diberikan petunjuk
dan mendapatkan solusi untuk setiap permasalahan.
Rasanya
tak adil jika yang kita lakukan hanyalah menyalahkan orang lain, sedangkan kita
tidak berkaca kembali pada diri sendiri. Apalagi di era digital ini, lalu
lintas berbagai informasi di dunia maya mampu mengalahkan dunia nyata, yang
berujung tidak bisa dibedakan mana informasi yang benar-benar asli dan mana yang
sengaja dibuat mirip asli alias KW atau
asli tapi palsu. Bahkan saking miripnya informasi palsu dengan yang asli, orang
yang berpendidikan tinggi pun tak jarang jadi korbannya. Yang mana tak jarang
berujung pada tersulutnya amarah akibat membaca ulasan yang berbau kebencian,
hingga akhirnya ikut menyebarkannya pula. Padahal itu hanyalah akal bulus
orang-orang yang kerjanya mengejar jumlah pengunjung dan klik paling banyak,
yang kemudian dijual kepada pengiklan demi menambah pundi-pundi recehan di dompet.
Namun
sebenarnya tak hanya orang-orang tersebut yang melakukan hal demikian. Ada juga
orang lain dengan misi tertentu, yang tujuannya adalah untuk jangka panjang.
Dalam hal ini untuk masa 50 tahun yang akan datang dan targetnya adalah anak
cucu kita nanti. Misi utamanya jelas sekali, ingin memecah bangsa yang damai
dan aman sentosa. Semua pasti tahulah apa yang saya maksud. Contohnya sudah
banyak kok terjadi di era digital ini dan korbannya kebanyakan adalah para anak
muda yang masih labil, ekonomi pas-pasan dan mereka yang ajaran agama dalam
keluarganya tidak begitu kuat.
Mirisnya
lagi, banyak yang tidak menyadari kalau sudah ikut terbawa arus dalam rencana
orang-orang ini. Contohnya, individualisme lebih ditonjolkan, budaya hedonisme
dan konsumtif yang semakin menjadi-jadi, gampang memfitnah orang lain, gampang
mengkafirkan orang lain, selalu merasa benar, menerima informasi
setengah-setengah tanpa menulusuri dahulu sumbernya, memutar balikkan fakta
dengan entengnya, bahkan yang paling ampuh adalah menyerang satu sama lain
dengan isu SARA.
Parahnya
lagi, setiap kali isu SARA disebar di media sosial, banyak yang langsung
menelan mentah-mentah informasi yang di dapat tanpa mengecek dahulu
kebenarannya atau setidaknya mencari tahu apa pemicunya. Begitu mudahnya orang
terprovokasi oleh berita-berita yang kebanyakan dibagikan oleh situs abal-abal.
Dan lucunya lagi, mereka-mereka yang terprovokasi kebanyakan hanya membaca
judul berita yang disebar tanpa membaca isinya terlebih dahulu. Entah karena
malas, budaya literasinya dititik nadir atau memang karena kebencian dalam diri
sudah tingkat akut sehingga daya kritisnya menghilang begitu saja. Entahlah,
hanya tuhan dan yang bersangkutan saja yang tahu jawabannya.
Akibatnya,
kerukunan beragama yang dulunya begitu kental dan menjadi salah satu ciri khas,
keunikan, indentitas serta jati diri bangsa ini perlahan-lahan mulai memudar,
hilang bagaikan tersapu angin dan bak ditelan bumi. Bahkan toleransi pun seakan
tidak dianggap sebagai sesuatu yang penting. Bukan lagi sesuatu yang mesti
dipertahankan, perlu dirawat dan dilestarikan sebagaimana mestinya. Dan itu
semua terjadi semenjak era media sosial mengambil alih kehidupan.
Akan
tetapi, kita tidak harus menyalahkan perubahan zaman juga karena memang seperti
itu adanya dan itulah tantangan yang perlu dihadapi di era globalisasi serta
era digital saat ini. Hanya saja, perlu ketelitian dan lebih selektif lagi
dalam memilah setiap informasi yang masuk. Nggak mau kan di cap “Kambing
Congek” atau seperti sapi yang di ikat hidungnya yang menurut saja kemanapun
tuannya pergi.
Oleh
karena itu, kita perlu juga menangkal informasi negatif yang masuk setiap saat
dengan harapan agar “Kerukunan Beragama di Era Media Sosial” tetap awet seperti
sebelum era media sosial lahir. Banyak cara untuk menangkal hal demikian agar
kita tidak terjebak lebih jauh dengan provokasi yang dilakukan oleh orang-orang
yang punya misi tertentu. Beberapa di antaranya seperti dibawah ini.
Pertama,
jangan mudah terhipnotis dengan judul yang bombastis. Semua pasti sudah sering
menemukan judul artikel atau berita yang seperti ini bukan. Memang tidak bisa
dipungkuri, judul bombastis atau heboh peluangnya sangat tinggi sekali untuk
membuat para pembaca tertarik dan berujung pada mengklik berita tersebut. Judul
bombastis seringkali kali di awali dengan kata “terungkap”, “terbukti”, “wow”,
“luar biasa”, dan masih banyak lagi. Bahkan belakangan ini juga merambah ke
hal-hal yang lebih religius, seperti “Subhanallah” dan “Masya Allah” yang
berujung pada klik “amin” dan “share/sebarkan”. Padahal terkadang faktanya
tidak seperti demikian dan dibalik itu ada trik pengambilan gambar yang
berperan.
Kedua,
perhatikan media manakah yang memuat berita yang judulnya terlihat bombastis.
Bukan apa-apa, di era digital seperti saat ini banyak yang membuat situs
berlabel agama, situs puyeng, jago analisis, dan media lainnya yang
kedengarannya masih asing alias baru didengar. Ada baiknya jangan langsung di
klik jika menemukan yang demikian, carilah dulu pembandingnya, atau cek
kebenaran media tersebut. Ketika sekali saja menemukan di dalamnya ada
informasi yang tidak akurat, cenderung menghasut, memprovokasi dan semacamnya,
maka segera masukkan media tersebut ke dalam daftar media yang patut di abaikan
alias tidak layak untuk dibaca.
Ketiga,
jika sudah terlanjur mengklik berita tersebut, maka jangan lupa untuk mengecek
sumber-sumber beritanya darimana saja di ambil. Contoh, kasus kriminal, maka
sudah pasti sumber resminya adalah penegak hukum (polisi) bukan sumber
individu. Tapi jika menemukan sumbernya berasal dari individu, maka sebaiknya
jangan percaya sepenuhnya. Kenapa? Semua tahulah kalau zaman sekarang terkadang
orang berbicara sesuai dengan bayaran yang diterima atau orang menyebutnya
pesanan.
Keempat,
tetaplah percaya pada media resmi. Karena biar bagaimanapun juga, media resmi
punya standar sendiri yakni standar jurnalistik dan tentunya punya disiplin
dalam melakukan verifikasi berita yang disampaikan, yang semuanya tentu
dibangun bukan dalam waktu singkat.
Kelima,
jangan hanya membaca berita dari satu media saja. Harus selalu ada pembanding
sehingga informasi yang diterima tidak berat sebelah. Ya, tetap harus
memperhatikan keberimbangan informasi. Karena biar bagaimanapun juga, pembaca
berita layaknya hakim di pengadilan, selalu punya sisi kritis dan
menimbang-nimbang benar tidaknya setiap informasi yang diterima.
Keenam,
jangan terlalu polos seperti anak kecil dan percaya begitu saja apa yang
disajikan oleh media. Sebaiknya lakukan survey dulu mengenai berita yang
dimuat. Tidak ada salahnya untuk melakukan cek and ricek dengan media lainnya.
Karena bisa jadi ada media yang lebih lengkap dalam memuat informasi yang
disajikan kepada khalayak ramai.
Terakhir,
poin ini terkadang susah dibedakan oleh pembaca, apalagi yang jarang membaca.
Apa itu? Opini dan fakta. Keduanya hamoir sama, tapi sebenarnya memiliki
perbedaan meskipun tipis. Namun biar bagaimanapun juga kalau dibanding-banding
pasti kelihatan perbedaan antara opini dan fakta.
Kurang
lebih seperti itu dulu, kalau mau
menambahkan lagi silahkan tulis dik kolom komentar. Nanti kita diskusikan lebih
lanjut jika memang apa yang saya ulas masih banyak kurangnya. Yang pastinya,
perlu kehati-hatian dalam menerima informasi yang masuk lewat media sosial dan
banyak hal yang mesti dipertimbangkan sebelum informasi itu ditelan semuanya
dan disebarkan ke orang lain. Karena salah sedikit saja, maka yang ada hanya
akan menjadikan fitnah dan bisa berujung pada perpecahan, termasuk antar agama.
Apa
salahnya kita menjaga dan merawat kerukunan beragama di era media sosial ini?
Dan saya yakin semua pasti suka akan kedamaian daripada perpecahan. Karena yang
namanya damai itu selalu indah. Setuju nggak?
media sosial memang jadi gaya hidup semua manusia di jagad pada dewasa ini, penggunaan dan pemakaiannya seharusnya pake HATI agar kerukunan dankeharmonisan beragama dan bersosial pun dapat selalu terjaga....dong ih
BalasHapusYa benar, harusnya menggunakan sosial pake hati juga. Jangan karena di media sosial bebas melakukan apa saja, soal kerukunan, etika dan toleransi pun jadi hilang. Mentang-mentang nggak semua orang tahu dimana yang bersangkutan rumahnya.
Hapus