Jauh
sebelum mengenal Kota Pangkal Pinang lewat media sosial, traveler, televisi dan
juga dari teman-teman komunitas blogger yang tersebar di Indonesia, nama
Pangkal Pinang dan beberapa daerah di sekitarnya sudah tersimpan dalam memory
saya sejak tahun 90-an, atau tepatnya sejak masih Taman Kanak-Kanak.
Bagi
warga kampung kelahiran saya, Desa Kahianga, Kecamatan Tomia Timur Kabupaten
Wakatobi, dijadikan sebagai daerah primadona yang wajib untuk dikunjungi,
khususnya warga yang pendidikannya hanya tamatan SD, SMP dan SMA. Bahkan
Pangkal Pinang dan sekitarnya sudah dianggap seperti kampung sendiri saking
seringnya mereka berkunjung ke tempat ini.
Namun
kunjungan orang-orang dari kampung saya bukan sebagai wisatawan domestik, melainkan
untuk mencari sesuap nasi demi bisa hidup mandiri dan juga untuk menghidupi
keluarga, baik itu yang belum maupun sudah berkeluarga. Dan paling banyak dari
mereka bekerja di tambang, yang kalau
nggak salah daerah ini dan sekitarnya terkenal akan biji timahnya.
Rentan
waktu berkunjung ke tempat ini pun bermacam-macam, ada yang cuma sampai tiga
bulan saja, enam bulan, satu tahun, dua tahun, bahkan yang betah pun ada.
Dengan kata lain sudah menjadi warga Pangkal Pinang, entah itu karena menikah
dengan wanita dari Pangkal Pinang, ataupun karena kemauan sendiri. Bahkan kalau
nggak salah beberapa di antaranya adalah keluarga saya sendiri.
Ketika
mereka ini balik ke kampung, mereka suka sekali menceritakan pengalaman saat
berada di Pangkal Pinang. Entah itu tentang mencari biji timah, pesona yang
disuguhkan seperti budaya, makanan khas, sejarahnya, tempat wisatanya, atau
pantainya yang tak kalah birunya dengan di kampung saya sendiri, yakni Pulau
Tomia (Wakatobi). Bahkan pesona gadis-gadis Pangkal Pinang pun tak luput dari
cerita mereka.
Saya
yang ketika itu masih kecil tidak bisa berbuat banyak. Senjata andalan yang
saya miliki hanyalah khayalan saja. Tentunya saat mengkhayal kala itu, saya juga
berharap bisa melihat dengan mata sendiri kebenaran pesona yang disuguhkan oleh
Pangkal Pinang.
Kini
dengan semakin canggihnya teknologi dan lahirnya berbagai media sosial, seperti
facebook, twitter, instagram, bahkan dengan adanya blog, khayalan dan impian
masa kecil saya akhirnya terwujud. Ya, saya akhirnya tahu bahwa Pangkal Pinang menyimpan
begitu banyak pesona dari berbagai sisi dan sayang jika terlewatkan begitu
saja.
Terus
terang, meski sudah melihat pesona Pangkal Pinang lewat media sosial baik di facebook
maupun blog, bagi saya hal itu tetap saja kurang.
Mau tahu kenapa? Karena sebagai orang yang mulai menyukai petualangan, jalan-jalan dan penikmat keindahan alam, saya ingin juga menginjakkan kaki di tempat ini seperti teman-teman blogger yang beberapa bulan lalu ke Pangkal Pinang. Selain ingin menikmati setiap sudut dan sisi pesona yang ada di Pangkal Pinang, sekaligus juga ingin bersilaturahmi dengan sanak saudara yang sudah lama tinggal di kota ini.
Mau tahu kenapa? Karena sebagai orang yang mulai menyukai petualangan, jalan-jalan dan penikmat keindahan alam, saya ingin juga menginjakkan kaki di tempat ini seperti teman-teman blogger yang beberapa bulan lalu ke Pangkal Pinang. Selain ingin menikmati setiap sudut dan sisi pesona yang ada di Pangkal Pinang, sekaligus juga ingin bersilaturahmi dengan sanak saudara yang sudah lama tinggal di kota ini.
Nah,
pertanyaan pun muncul. Pesona apa saja yang ingin saya nikmati di tempat ini? Mau
tahu jawabannya. Ya, sudah pasti semuanya donk. Masa cuma setengahnya saja,
nggak seru kalau hanya separuhnya saja. Kalau bisa semuanya kenapa nggak. Hhhmmm....
nafsu sama rakus amat ya. Ah... biarin ajalah.
Ngomong-ngomong, mau tahu nggak apa saja yang ingin saya coba dari pesona yang disuguhkan di Pangkal Pinang. Kalau mau tahu, simak selengkapnya di bawah ini.
Ngomong-ngomong, mau tahu nggak apa saja yang ingin saya coba dari pesona yang disuguhkan di Pangkal Pinang. Kalau mau tahu, simak selengkapnya di bawah ini.
Pesona
Kuliner Pangkal Pinang
Dari
yang saya telusuri, Pangkal Pinang ternyata dihuni oleh etnis Melayu, Tionghoa dan suku Hakka dari Guangzhou, serta ditambah banyak suku pendatang seperti Batak,
Minangkabau, Palembang, Sunda, Jawa, Madura, Banjar, Bugis, Manado, Flores,
Buton, Wakatobi, dan Ambon.
Nah,
melihat banyaknya suku yang mendiami kota Pangkal Pinang, saya langsung
mengkhayal tentang makanan khas yang bisa ditemukan di kota ini. Dalam khayalan
saya, bakal puas bangad menikmati kuliner di sini. Mengapa? Karena dengan
banyaknya suku yang mendiami kota Pangkal Pinang, maka sudah pasti makanan khas
atau istilahnya kuliner yang disuguhkan pasti beraneka ragam.
Dalam
bayangan saya, siapa pun yang berkunjung ke kota Pangkal Pinang, pasti bakal
puas bangad. Mau kuliner yang sederhana, tapi mengunggah selera pasti ada, mau
yang wah pun pasti ada. Misalnya pengen kuliner khas Wakatobi, yakni Ikan
Parende (ikan dengan kuah kuning) pasti ada, mau Sate ala Madura pasti ada, pempek
sudah pasti ada, dan masih banyak lagi. Tentunya hal ini bakal membuat siapapun
betah berada di Kota ini. Dan bisa jadi salah satu faktor ini yang membuat
beberapa orang dikampung halaman saya betah berada di Pangkal Pinang.
Pesona
Pariwisata
Jika
kuliner saja ada, maka daerah wisata pun pasti banyak. Setuju nggak?
Nah,
di Pangkal Pinang menurut saya sangat kaya akan potensi wisata. Mulai dari yang
biasa kita lihat sampai ekstrim pun ada. Masa sih, enggak percaya?
Serius
kok, nggak pake bohong atau mengada-ngada. Bagi yang suka nonton televisi,
pasti sering lihat kan keindahan pantai yang dilengkapi dengan batu-batu besar
di sekitarnya. Dan sadar atau tidak, keberadaan batu-batu besar tersebut
semakin menambah keindahan pantai tersebut. Mau tahu di tempatnya? Dimana lagi
kalau bukan di Pangkal Pinang.
Pernah
lihat klenteng yang menyuguhkan pemandangan lautan dan berada di atas bukit. Kalau
belum, maka kamu wajib berkunjung ke Pangkal Pinang. Kenapa? Karena pemandangan
itu hanya bisa ditemukan di kota ini. Menarik bukan?
Ada
lagi yang lebih menarik, unik, sedikit horor, dan ekstrim menurut saya pribadi
yang baru mendengar hal ini. Mau tahu apa itu?
Namanya
adalah Tradisi Sembahyang Cheng Beng. Sebuah tradisi unik yang juga sekaligus
merupakan ritual tahunan, khususnya masyarakat Tionghoa yang beragama Khonghucu.
Konon, tradisi ini dianggap sebagai bentuk perwujudan sikap hormat masyarakat
Tionghoa kepada para leluhurnya.
Bagaimana,
semakin menarik bukan? Sayang kan kalau terlewatkan begitu saja.
Pesona
Sejarah
Tak
hanya kaya akan kuliner dan potensi wisata, di Pangkal Pinang juga tersimpan
banyak sejarah yang patut untuk di telusuri. Sehingga selain bisa menikmati
kuliner dan berbagai wisata yang disuguhkan, kita juga bisa menambah wawasan
seputar sejarah masa lalu.
Salah
satu di antaranya ada hubungannya dengan urusan mencari nafkah, seperti tujuan
utama warga kampung halaman saya. Ada yang tahu nggak, yang saya maksud itu
apa?
Tepat
sekali. Tambang timah, tapi yang akan ulas di sini bukan tentang aktivitas
ditambang. Melain tentang sebuah museum bernama Museum Timah Indonesia (Househill).
Dari website wonderfulpangkalpinang.info, museum ini terletak di Jln. Ahmad Yani
no. 179 (dulu Jln. Damai).
Screen Shoot Museum Timah Indonesia Via jotravelguide |
Konon,
bangunan museum ini dulunya merupakan tempat tinggal para karyawan Bangka Tin
Winning (BTW). Pernah pula digunakan sebagai tempat diadakannya Perjanjian
Roem-Royen. Sebuah perjanjian antara Indonesia dan Belanda pada tanggal 7 Mei
1949. Pada waktu itu delegasi Indonesia diwakili oleh Mr. Moh. Roem. Sedangkan
delegasi Belanda diwakili oleh H.J. Van Royen. Hasil perjanjian tersebut hingga
kini masih tersimpan dengan rapi di museum ini sebagai bukti sejarah Indonesia.
Museum
Timah sendiri berdiri pada tahun 1958. Di awal berdirinya, museum ini hanya
mencatat sejarah pertimahan Bangka-Belitung oleh karyawan BTW agar masyarakat
luas bisa mengenal. Namun saat resmi dibuka untuk umum pada tanggal 2 Agustus
1997 oleh PT. Timah Tbk, koleksi di museum ini semakin lengkap. Tersimpan
sejarah proses penambangan timah dari alam hingga pengolahan secara tradisional
maupun modern, baik berupa dokumen maupun foto-foto yang menjadi koleksi museum
ini.
Oh
iya, katanya museum ini juga merupakan objek wisata favorit selain berbagai pantai
yang ada di Pangka Pinang. Dan sekadar info tambahan, Museum Timah Indonesia berada di jalan tengah Kota
Pangkal Pinang, sehingga mudah ditemukan dan juga dijangkau. Jika ingin ke
tempat ini, cukup menyediakan biaya Rp. 5.000 per orang untuk naik transportasi
umum. Asyiknya lagi, tidak dikenakan biaya masuk jika mau berkunjung ke museum
ini.
Kurang lebih seperti itulah mengenai “Pesona Pangkal
Pinang di Mata Saya Sebagai Anak Pulau”.
Bagaimana, tertarik untuk berkunjung. Sudah siap untuk
mengeksplorasi berbagai potensi dan pesona wisata yang disuguhkan dari berbagai
sisi yang ada di Kota Pangkal Pinang. Buruan, sebelum menyesal nanti?
Makassar, 07 September 2016
selain dipangkalpinang mas, di belitung juga sangat indah. nggak kalah sama bali . :) kampung halaman ku.
BalasHapusiya di dibangka sama belitung juga banyak orang sulewesi mas
Kalau nggak salah nggak cuma di kedua tempat itu, ada juga di kijang.
Hapusya mas arif..
Hapushehehe...
Hapuswah lengkap ya, memang indonesia itu alamnya indah, jadi setiap ada blogger cerita tentang suatu daerah pinginnya datang ke sana, masalahnya duitnya gaka da
BalasHapusNah... Itu dia yang seringkali jadi masalah buay yang mulai hobi traveling. Lagi-lagi dana menjadi hambatan dan membuat impian tertunda bahkan pupus.
Hapus