Pengalaman Mudik Yang Tak Akan Kulupakan, Dok. Pri |
Di Indonesia, mudik
menjadi sebuah tradisi yang seakan sudah terjadi secara turun temurun. Sebuah
tradisi yang menurut saya membuat negeri ini menjadi unik dari negara-negara
muslim lain di dunia. Suasana mudik di Indonesia identik dengan jalanan macet,
baik karena kendaraan roda dua maupun roda empat. Identik pula dengan
berdesak-desakkan, baik yang menggunakan kapal PELNI atau pun yang menggunakan
transportasi Kereta Api. Bahkan identik pula dengan kehabisan tiket, entah itu
tiket pesawat atau pun Kereta Api.
Dari semua jenis transportasi yang saya tuliskan di atas, saya akan mencoba menceritakan pengalaman mudik yang saya alami saat menggunakan transportasi laut, baik saat menggunakan kapal PELNI maupun kapal kayu yang biasa menuju kampung halaman saya. Pengalaman ini terjadi beberapa tahun lalu saat saya mudik menjelang lebaran Idul Fitri.
Setelah memutuskan untuk mudik, saya pun segera mencari informasi mengenai jadwal kapal dengan harapan masih ada kapal yang akan menuju Bau-Bau. Sesampainya di travel tempat biasa saya membeli tiket, saya pun menanyakan jadwal kapal untuk hari itu sekaligus dengan harga tiketnya. Dan alhamdulillah, hari itu ada kapal menuju Bau-Bau dan di jadwal tertera jam 10 malam berangkat. Demi menghemat waktu, saya pun memesan tiket dan membayarnya. Setelah itu, saya pun segera kembali ke kost mempersiapkan pakaian yang akan saya bawa pulang kampung.
Pengalaman Pertama Naik Kapal Kelimutu
Singkat cerita, malam pun tiba. Agar tidak terlambat
dan kena macet, sehabis shalat Isya saya berangkat dari kost-kostan ke
pelabuhan. Kurang lebih 45 menit kemudian, saya pun sampai di pelabuhan. Dan
ternyata banyak teman-teman juga yang akan mudik ke kampung halaman. Setelah
penumpang tujuan Makassar turun semua, penumpang tujuan Bau-Bau pun di
persilahkan naik ke kapal. Kami segera bergegas menuju ruang tunggu sambil
menunjukkan tiket ke pegawai ditempat pengecekan tiket.
Mulai dari ruang tunggu, penumpang sudah berdesak-desakkan karena banyak sekali yang mudik dengan tujuan Indonesia Timur, seperti Ambon dan Irian. Hampir 30 menit berdesak-desakkan dengan penumpang lainnya, kami pun tiba di dalam kapal. Alangkah terkejutnya kami karena kapal KM. KELIMUTU tidak sebesar kapal PELNI lain yang biasa beroperasi Makassar menuju Bau-bau.
Sebagai penumpang ekonomi, maka mau tidak mau kami harus segera mencari tempat tidur yang kosong yang relatif nyaman dan strategis. Untuk diketahui, di kelas ekonomi tidak berlaku nomor sheat seperti yang tertera di tiket. Setelah berputar-putar di dalam kapal mencari kami tidak menemukan tempat tidur yang kosong karena saat itu kebanyakan sudah ditempati penumpang yang dari Surabaya dengan tujuan Ambon dan Irian. Dengan terpaksa kami harus membeli tikar dan menggelarnya di kabin luar kapal yang ada di dek 4. Jam 11 malam kapal baru berangkat. Malam itu kami tidur dengan beratap langit, sebagian tanpa dinding penghalang dan cuaca yang tidak bersahabat. Malam itu cuaca dingin dan berombak. Bisa dibayangkan, kapal yang kami tumpangi oleng kiri oleng kanan setiap dihantam ombak, rasanya seperti naik kapal speedboad kecil.
Saat pagi tiba, saya mengecek Handphone ada signal dan perkiraan saya waktu itu paling tinggal 4-5 jam lagi sudah tiba di Bau-Bau. Sambil menikmati suasana pagi yang cerah dengan pemandangan di sekeliling yang saat itu melewati pulau-pulau yang begitu indah, saya bertanya ke kru kapal bahwa kira-kira berapa jam lagi kapal tiba. Alangkah terkejutnya, kapal yang kami tumpangi akan tiba di Bau-Bau malam hari sekitar jam 10-11an. Dari perhitungan saya berarti 24jam lamanya kami berlayar. Dan itu di luar perkiraan karena kapal lain yang biasa kami tumpangi untuk jarak Makassar menuju Bau-Bau hanya ditempuh 12-13 jam. Stres dan menyesal bercampur menjadi satu saat itu, namun apa boleh buat kami sudah berada di tengah laut.
Antri Makan
Semua penumpang kapal laut mendapatkan jatah makan 3
kali sehari, makan pagi, makan siang dan makan malam. Beberapa menit menjelang
jam makan akan terdengar pengumuman dari petugas yang mempersilahkan penumpang
untuk makan. Bagi penumpang kelas non ekonomi maka bisa makan di restoran yang
disediakan berdasarkan kelasnya, yang jelas jauh lebih nyaman dari kelas
ekonomi karena makanan disediakan di atas meja makan, tinggal menempati kursi
yang disediakan dan bisa makan dengan tenang.
Sedangkan penumpang kelas ekonomi harus membawa tiket dan mengantri jika ingin mendapatkan makanan. Untuk mendapatkan makanan pun penumpang ekonomi harus secepatnya datang ke pantri karena jika bermalas-malasan dan menunggu antrian berkurang, maka jangan marah jika tidak mendapatkan makanan. Penumpang kelas ekonomi juga boleh membawa tempat makanannya sendiri sehingga ada yang membawa piring, rantang dan sebagainya.
Suasana sangat riuh dan kadangkala penuh canda tawa saat mengantri makanan. Penumpang yang malas mengantri biasanya membeli makanan pada awak kapal yang menjual makanan setiap waktu makan saat, tentu saja dengan porsi yang lumayan banyak. Penumpang juga bisa memilih makan di cafe atau restoran yang disediakan namun harus membayar lumayan mahal.
Berinteraksi Dengan Penumpang Lain dan Melihat Pemandangan
Keistimewaan menjadi penumpang kelas ekonomi adalah kita bisa lebih banyak berinteraksi dengan penumpang lainnya yang berasal dari berbagai latar belakang suku dan bahasa di Indonesia. Interaksi ini bahkan tidak jarang menjadi pertemanan, persahabatan bahkan percintaan. Di luar kapal juga selalu ada penjual berbagai macam barang seperti buku-buku, peralatan elektronik sederhana dan aksesoris khas dari berbagi daerah. Hal ini makin membuat perjalanan makin berwarna dan tidak membosankan.
Perjalanan Berlanjut Dari Bau-Bau Menuju Kampung Halaman
Setelah seharian menikmati pemandangan dan berinteraksi dengan penumpang lainnya, saat yang di nanti-nanti datang, kami pun tiba di pelabuhan Bau-Bau. Perjalanan mudik belum berhenti sampai di situ karena untuk sampai ke kampung halaman harus 2-3 kali naik kapal laut. Tadinya kami akan melanjutkan perjalanan dengan naik kapal laut tujuan Wakatobi (kapal ke Tomia). Namun apa boleh buat kami terlambat, kapal sudah berangkat satu jam lebih dulu sebelum kami tiba di pelabuhan Bau-Bau. Akhirnya, kami melanjutkan perjalanan tetap dengan kapal Kelimutu karena kebetulan kapal tersebut singgah juga di pelabuhan Wanci salah satu pulau yang ada di Wakatobi.
Saat perjalanan dari Bau-Bau ke Wanci, cuaca tidak begitu bersahabat bahkan lebih parah dari saat bertolak dari Makassar ke Bau-Bau. Sama dengan malam sebelumnya, kami tetap beratapkan langit karena penumpang di kelas ekonomi di padati penumpang tujuan Ambon dan Irian. Malam itu angin kencang, ombak bertambah kencang dan keras menemani perjalanan kami menuju Wanci. Badan mulai terasa dingin biarpun pakaian yang saya gunakan tebal baik celana, baju dan jaket bahkan saya pun menggunakan kaos kaki. Tetapi, tetap saja semua itu tidak bisa menahan kencangnya angin yang begitu dingin. Bahkan cipratan ombak mengenai kami saking kencang dan kuatnya gelombang yang datang menghantam kapal yang kami tumpangi.
Setelah melewati masa-masa yang penuh menegangkan dan menguji adrenalin, jam 10 pagi kami pun tiba di pelabuhan Wanci. Dan kejadian semalam kembali terulang lagi. Kapal speedboad yang menunggu kami telah berangkat menuju Tomia sekitar jam 9 pagi, karena peraturan di pelabuhan speed tidak di ijinkan berlama-lama melebihi jadwal keberangkatan yang seharusnya jam 8 pagi. Pikiran saya mulai berkecamuk bahkan saya sempat berpikir “akankah saya terlantar di kampung orang selama 24 jam” karena kapal besok baru ada lagi. Tapi saya dan teman-teman tidak patah semangat. Kami tetap menyusuri pelabuhan speedboad siapa tahu ada kapal kayu yang akan menuju Tomia ataupun Binongko.
Selama hampir satu jam kami menyusuri pelabuhan dan bertanya-tanya, akhirnya keberuntungan berpihak kepada kami. Kebetulan saat itu ada kapal kayu yang akan menuju pulau Binongko. Setelah bernegosiasi masalah tarif dengan yang punya kapal, kami pun bergegas naik ke kapal. Saat itu tepat jam 12 siang kami berangkat dengan cuaca begitu terik tanpa ada awan yang menghalangi matahari. Seperti biasa, hanya beratap langit, angin kencang dan musim ombak kami tetap melanjutkan perjalanan mudik. Karena angin kencang dan berombak, jam 4 sore kami baru tiba di kampung halaman.
Semua pengalaman yang membuat kami stres, menegangkan dan menguji adrenalin langsung terobati saat menginjakkan kaki di kampung halaman. Dan saya semakin senang lagi saat sampai di rumah dengan suasana yang begitu asri dan nyaman dengan dikelilingi pepohonan yang begitu rindang.
Dari semua jenis transportasi yang saya tuliskan di atas, saya akan mencoba menceritakan pengalaman mudik yang saya alami saat menggunakan transportasi laut, baik saat menggunakan kapal PELNI maupun kapal kayu yang biasa menuju kampung halaman saya. Pengalaman ini terjadi beberapa tahun lalu saat saya mudik menjelang lebaran Idul Fitri.
Masih jelas teringat ketika mudik beberapa tahun lalu,
tepatnya lebaran Idul Fitri tahun 2011. Saat itu Ramadhan sudah memasuki minggu
terakhir dan lebaran Idul Fitri tinggal dua hari lagi. Kalau bukan permintaan
orangtua, saya sebenarnya berencana untuk tidak mudik. Saya berencana demikian
karena saat itu sudah memasuki musim ombak dan angin kencang, ditambah lagi
dengan cuaca yang berubah-ubah baik di darat maupun di laut.
Setelah memutuskan untuk mudik, saya pun segera mencari informasi mengenai jadwal kapal dengan harapan masih ada kapal yang akan menuju Bau-Bau. Sesampainya di travel tempat biasa saya membeli tiket, saya pun menanyakan jadwal kapal untuk hari itu sekaligus dengan harga tiketnya. Dan alhamdulillah, hari itu ada kapal menuju Bau-Bau dan di jadwal tertera jam 10 malam berangkat. Demi menghemat waktu, saya pun memesan tiket dan membayarnya. Setelah itu, saya pun segera kembali ke kost mempersiapkan pakaian yang akan saya bawa pulang kampung.
Pengalaman Pertama Naik Kapal Kelimutu
Wujud Kapal Kelimutu |
Mulai dari ruang tunggu, penumpang sudah berdesak-desakkan karena banyak sekali yang mudik dengan tujuan Indonesia Timur, seperti Ambon dan Irian. Hampir 30 menit berdesak-desakkan dengan penumpang lainnya, kami pun tiba di dalam kapal. Alangkah terkejutnya kami karena kapal KM. KELIMUTU tidak sebesar kapal PELNI lain yang biasa beroperasi Makassar menuju Bau-bau.
Sebagai penumpang ekonomi, maka mau tidak mau kami harus segera mencari tempat tidur yang kosong yang relatif nyaman dan strategis. Untuk diketahui, di kelas ekonomi tidak berlaku nomor sheat seperti yang tertera di tiket. Setelah berputar-putar di dalam kapal mencari kami tidak menemukan tempat tidur yang kosong karena saat itu kebanyakan sudah ditempati penumpang yang dari Surabaya dengan tujuan Ambon dan Irian. Dengan terpaksa kami harus membeli tikar dan menggelarnya di kabin luar kapal yang ada di dek 4. Jam 11 malam kapal baru berangkat. Malam itu kami tidur dengan beratap langit, sebagian tanpa dinding penghalang dan cuaca yang tidak bersahabat. Malam itu cuaca dingin dan berombak. Bisa dibayangkan, kapal yang kami tumpangi oleng kiri oleng kanan setiap dihantam ombak, rasanya seperti naik kapal speedboad kecil.
Saat pagi tiba, saya mengecek Handphone ada signal dan perkiraan saya waktu itu paling tinggal 4-5 jam lagi sudah tiba di Bau-Bau. Sambil menikmati suasana pagi yang cerah dengan pemandangan di sekeliling yang saat itu melewati pulau-pulau yang begitu indah, saya bertanya ke kru kapal bahwa kira-kira berapa jam lagi kapal tiba. Alangkah terkejutnya, kapal yang kami tumpangi akan tiba di Bau-Bau malam hari sekitar jam 10-11an. Dari perhitungan saya berarti 24jam lamanya kami berlayar. Dan itu di luar perkiraan karena kapal lain yang biasa kami tumpangi untuk jarak Makassar menuju Bau-Bau hanya ditempuh 12-13 jam. Stres dan menyesal bercampur menjadi satu saat itu, namun apa boleh buat kami sudah berada di tengah laut.
Antri Makan
Begini Makanan di PELNI, dok : gurila405.blogspot.com |
Sedangkan penumpang kelas ekonomi harus membawa tiket dan mengantri jika ingin mendapatkan makanan. Untuk mendapatkan makanan pun penumpang ekonomi harus secepatnya datang ke pantri karena jika bermalas-malasan dan menunggu antrian berkurang, maka jangan marah jika tidak mendapatkan makanan. Penumpang kelas ekonomi juga boleh membawa tempat makanannya sendiri sehingga ada yang membawa piring, rantang dan sebagainya.
Suasana sangat riuh dan kadangkala penuh canda tawa saat mengantri makanan. Penumpang yang malas mengantri biasanya membeli makanan pada awak kapal yang menjual makanan setiap waktu makan saat, tentu saja dengan porsi yang lumayan banyak. Penumpang juga bisa memilih makan di cafe atau restoran yang disediakan namun harus membayar lumayan mahal.
Berinteraksi Dengan Penumpang Lain dan Melihat Pemandangan
Keistimewaan menjadi penumpang kelas ekonomi adalah kita bisa lebih banyak berinteraksi dengan penumpang lainnya yang berasal dari berbagai latar belakang suku dan bahasa di Indonesia. Interaksi ini bahkan tidak jarang menjadi pertemanan, persahabatan bahkan percintaan. Di luar kapal juga selalu ada penjual berbagai macam barang seperti buku-buku, peralatan elektronik sederhana dan aksesoris khas dari berbagi daerah. Hal ini makin membuat perjalanan makin berwarna dan tidak membosankan.
Perjalanan Berlanjut Dari Bau-Bau Menuju Kampung Halaman
Setelah seharian menikmati pemandangan dan berinteraksi dengan penumpang lainnya, saat yang di nanti-nanti datang, kami pun tiba di pelabuhan Bau-Bau. Perjalanan mudik belum berhenti sampai di situ karena untuk sampai ke kampung halaman harus 2-3 kali naik kapal laut. Tadinya kami akan melanjutkan perjalanan dengan naik kapal laut tujuan Wakatobi (kapal ke Tomia). Namun apa boleh buat kami terlambat, kapal sudah berangkat satu jam lebih dulu sebelum kami tiba di pelabuhan Bau-Bau. Akhirnya, kami melanjutkan perjalanan tetap dengan kapal Kelimutu karena kebetulan kapal tersebut singgah juga di pelabuhan Wanci salah satu pulau yang ada di Wakatobi.
Saat perjalanan dari Bau-Bau ke Wanci, cuaca tidak begitu bersahabat bahkan lebih parah dari saat bertolak dari Makassar ke Bau-Bau. Sama dengan malam sebelumnya, kami tetap beratapkan langit karena penumpang di kelas ekonomi di padati penumpang tujuan Ambon dan Irian. Malam itu angin kencang, ombak bertambah kencang dan keras menemani perjalanan kami menuju Wanci. Badan mulai terasa dingin biarpun pakaian yang saya gunakan tebal baik celana, baju dan jaket bahkan saya pun menggunakan kaos kaki. Tetapi, tetap saja semua itu tidak bisa menahan kencangnya angin yang begitu dingin. Bahkan cipratan ombak mengenai kami saking kencang dan kuatnya gelombang yang datang menghantam kapal yang kami tumpangi.
Setelah melewati masa-masa yang penuh menegangkan dan menguji adrenalin, jam 10 pagi kami pun tiba di pelabuhan Wanci. Dan kejadian semalam kembali terulang lagi. Kapal speedboad yang menunggu kami telah berangkat menuju Tomia sekitar jam 9 pagi, karena peraturan di pelabuhan speed tidak di ijinkan berlama-lama melebihi jadwal keberangkatan yang seharusnya jam 8 pagi. Pikiran saya mulai berkecamuk bahkan saya sempat berpikir “akankah saya terlantar di kampung orang selama 24 jam” karena kapal besok baru ada lagi. Tapi saya dan teman-teman tidak patah semangat. Kami tetap menyusuri pelabuhan speedboad siapa tahu ada kapal kayu yang akan menuju Tomia ataupun Binongko.
Selama hampir satu jam kami menyusuri pelabuhan dan bertanya-tanya, akhirnya keberuntungan berpihak kepada kami. Kebetulan saat itu ada kapal kayu yang akan menuju pulau Binongko. Setelah bernegosiasi masalah tarif dengan yang punya kapal, kami pun bergegas naik ke kapal. Saat itu tepat jam 12 siang kami berangkat dengan cuaca begitu terik tanpa ada awan yang menghalangi matahari. Seperti biasa, hanya beratap langit, angin kencang dan musim ombak kami tetap melanjutkan perjalanan mudik. Karena angin kencang dan berombak, jam 4 sore kami baru tiba di kampung halaman.
Semua pengalaman yang membuat kami stres, menegangkan dan menguji adrenalin langsung terobati saat menginjakkan kaki di kampung halaman. Dan saya semakin senang lagi saat sampai di rumah dengan suasana yang begitu asri dan nyaman dengan dikelilingi pepohonan yang begitu rindang.
Pondok
Maryam Makassar, 14 Februari 2015
wah seru banget mudiknya, secara aku sih dekat dan mudik berlawanan arah dengan kebanyakan orang jadi jarang kena macet
BalasHapusLebih tepatnya menguji adrenalin.
Hapusantara mudik yang penuh perjuangan plus horo saat cuaca tidak bagus ._____.
BalasHapusBenar bangad, penuh perjuangan.
Hapuswah mudiknya seru juga :)
BalasHapusgimana mas rasanya mudik ??
Lumayan. Mudik naik kapal tuh identik dengan berdesak-desakan, kadang gak dapat tempat tidur, banyak calo tiket, banyak pungutan sana sini di pelabuhan.
HapusMudik pakai kapal itu penuh perjuangan.
BalasHapusIya benar, apalagi kalau lebaran tinggal seminggu lagi. Dijamin mudiknya butuh perjuangan ekstra. Lorong bahkan depan pintu masuk ke kapal pun jadi tempat tidur.
Hapus