Catatan Perjalanan Menuju Jakarta, Dok. Pribadi |
Tak
cuma itu saja, pengalaman pertama secara perlahan-lahan bisa membuat setiap
individu belajar menjadi sosok yang lebih percaya diri dan juga siap menerima
tantangan selanjutnya ditempat yang berbeda. Lebih jauh lagi, bisa membuat
setiap individu menjadi pribadi yang lebih dewasa.
Begitu
pula dengan yang saya rasakan, tepatnya setelah hampir dua tahun pengalaman
pertama naik pesawat berlalu. Dimana pengalaman pertama akhirnya membawa saya
ke petualangan selanjutnya. Sebuah petualangan yang saya rencanakan beberapa
bulan setelah pengalaman pertama berlalu.
Kala
itu, saya langsung merencanakan perjalanan jauh menuju kota yang selama ini di
agung-agungkan oleh semua orang. Yang mana sampai sekarang keberhasilan
seringkali dijadikan acuan buat kota-kota lainnya di Indonesia. Kota yang
memiliki magnet kuat, kekuatan besar dan semua yang ada di dalamnya selalu
menarik untuk bicarakan oleh seluruh warga negeri ini.
Apalagi
kalau bukan JAKARTA. Sebuah kota yang berhasil bertransformasi dari kota
Metropolitan menjadi Megapolitan. Kota yang malam harinya berpenduduk 9 juta
sampai 10 juta jiwa. Namun pada siang harinya bisa bertambah 2 juta sampai 3
juta, dengan kata lain pada siang hari penduduk mencapai 12 juta jiwa.
Ya,
itulah kota yang saya impikan sejak kecil, yang mana akhirnya menjadi tujuan
destinasi selanjutnya. Kota yang dulu hanya mampu saya gambarkan dalam khayalan
saja setiap kali muncul di TV berlayar Hitam Putih.
* * *
Pagi
itu, tepatnya pertengahan bulan Mei 2011, sekitar pukul 03.30 Waktu Makassar, saya
sudah bersiap-siap menuju Bandara Internasional Sultan Hasanuddin. Dengan
semangat, saya segera membangunkan teman yang sehari sebelumnya sudah setuju
untuk mengantar menuju bandara.
Sambil
menunggu ia cuci muka, saya segera bergegas mengambil kunci motor dengan tujuan
untuk memanaskan sebelum nantinya digunakan. Namun alangkah terkejutnya saya,
karena motor tersebut tiba-tiba rusak mendadak. Meski distater manual
berkali-kali, motor tersebut tidak mau hidup juga.
Alhasil,
saya pun dibuat sedikit panik karena jadwal keberangkatan yang tertera di tiket
sekitar pukul 05.00 Wita. Sedangkan dirumah saat itu cuma saya yang punya motor dan
waktu juga menunjukkan pukul 03.50 Wita.
Ditengah
kepanikan tersebut, saya mencoba mencari alternatif lain. Ketika itu ada 2
pilihan, yakni membangun teman yang kost disebelah rumah atau menggunakan jasa
taksi.
Dan
setelah dipikir-pikir, akhirnya saya memutuskan untuk menggunakan jasa taksi saja.
Selain untuk menghemat waktu, teman yang kost disebelah rumah belum tentu
bangun saat dibangunkan mendadak dan belum tentu mau mengantar. Apalagi
sebelumnya tidak pernah diberitahu, belum lagi waktu yang dibutuhkan untuk
minjam motor penghuni kost lain.
Nggak
cukup 10 menit dari keputusan yang saya ambil, taksi yang ditunggu pun datang.
Segera saya masukkan tas ransel ke taksi tersebut. Tak lupa menitipkan kunci
motor sekaligus pamit sebelum masuk ke dalam taksi dan berlalu meninggalkan
teman yang telah saya ganggu tidur nyenyaknya.
Saat
di dalam taksi, saya meminta kepada sopir taksi agar sedikit ngebut karena
jadwal saya berangkat pukul 05.00 Wita. Disisi lain karena mengingat jam-jam
seperti itu biasanya antri untuk cek-in memakan waktu lumayan lama,
kurang lebih 10-20 menitan. Belum lagi ditambah dengan waktu jalan dari lantai
bawah menuju ruang tunggu dilantai selanjutnya.
Karena
pagi itu jalan lengang dan sopir taksinya mengerti kepanikan saya. Kurang lebih
25 menit kemudian atau pukul 04.25 Wita, saya akhirnya sampai juga di Bandara
Internasional Sultan Hasanuddin. Karena melihat orang yang antri di depan pintu
masuk lumayan banyak, maka ongkos taksi segera saya bayar dan tidak lagi peduli
dengan uang kembalian, meski nggak banyak-banyak amat.
Saya
langsung berlari menuju pintu masuk yang jarak kurang lebih 15 meter dari
tempat taksi berhenti. Sambil menarik napas, pelan-pelan saya ikut mengekor
dalam antrian tersebut. Setelah selamat melewati pintu masuk, pagi itu saya
malah bingung sendiri karena baru pertama kalinya menginjakkan kaki di dalam
terminal Bandara Sultan Hasanuddin. Disisi lain, bingung mencari tempat cek-in
yang maksud oleh petugas yang saya tanya setelah melewati pintu masuk.
Bagaimana
tidak bingung, pagi itu tempat cek-in yang aktif cuma dua. Sedangkan
waktu berjalan terus dan sudah menunjukkan pukul 04.35 Wita. Belum lagi antrian
pagi itu lumayan panjang, sampai-sampai 2 petugas yang sedang melayani para
calon penumpang berteriak meminta bantu temannya untuk membantu.
Untungnya,
ada juga pegawai yang mau membantu meski sebenarnya jadwal shipnya sudah
berakhir. Semakin beruntung lagi karena setelah separuh dari antrian dipisahkan
saya dapat urutan ke-3, yang artinya tidak harus menunggu lama lagi. Kurang
lebih 5 menit kemudian, saya akhirnya kebagian juga. Setelah itu langsung
bergegas menuju ruang tunggu dilantai 2 sesuai dengan yang tertera di tiket.
Sesampainya
di ruang tunggu dan belum sempat menghempaskan badan ke kursi, terdengar sebuah
pengumuman bahwa pesawat tujuan Jakarta sedikit terlambat, yang artinya bakalan
delay. Kebetulan yang dimaksud nomor penerbangannya sama dengan pesawat
yang akan saya tumpangi nantinya.
Dalam
hati saya sempat berkata : “Ah, kok delay sih. Udah kaya jadwal Kapal
PELNI saja sering bangad delay.”
Tapi
itu dulu ya, sekarang mah sudah tepat waktu semua jadwal PELNI setelah Ignatius
Jonan menjadi menteri.
Namun
demikian, waktu saya sedikit senang juga. Mengapa? Karena waktu itu saya belum
shalat shubuh. Lumayanlah, ada waktu buat shalat dan nggak mungkin saya shalat
di Jakarta karena sampainya disana sekitar jam 7 atau mungkin lewat dikit. Dan
setelah pengumuman itu usai, saya langsung menanyakan posisi “Musholla” kepada
petugas yang berjaga di pintu masuk ruang tunggu.
* * *
Nggak
lama setelah usai shalat, pengumuman terdengar kembali. Kali ini pengumuman
untuk segera menuju pesawat, karena 15 menit lagi pesawat akan lepas landas.
Saya yang masih santai diluar usai shalat segera menuju ruang tunggu tempat tas
saya berada dan bergegas menuju lorong yang berakhir dikabin pesawat.
Pukul
05.15 Wita, pesawat meninggalkan terminal bandara dan menuju landasan pacu. Kurang
lebih 10 menit kemudian, pesawat perlahan-lahan melewati landasan pacu. Tak
lama setelah itu, pesawat sedikit menukik ke atas, lalu sedikit berguncang
ketika rodanya meninggalkan permukaan landasan, dan lalu tak lama kemudian
kembali stabil. Saya pun bernapas dengan lega.
Sesaat
setelah pesawat stabil kembali, dari ufuk timur terlihat cahaya mentari pagi
perlahan-lahan naik menyinari dunia dengan begitu indahnya. Dari udara saya
menyaksikan keindahan alam kota Makassar yang terlihat menghijau. Sungguh pemandangan
yang menakjubkan, membuat pikiran fresh kembali, dan semakin membuat saya lega.
Namun,
pemandangan nan hijau itu hanya bisa saya saksikan beberapa menit saja, karena
pesawat semakin lama semakin tinggi. Untuk menghilangkan rasa bosan dan kebetulan
masih sedikit ngantuk, akhirnya saya mencoba memejamkan mata. Selain itu,
mengingat jarak tempuh dari Makassar ke Jakarta memakan waktu kurang lebih 2
jam 15 menit.
Sungguh
waktu yang lumayan lama jika di pikir-pikir dan akan terasa semakin lama lagi
jika di dalam pesawat tidak punya teman. Apalagi perjalanan menuju Jakarta
merupakan perjalanan jauh pertama bagi saya. Dimana modal yang saya bawa
hanyalah keberanian dan juga sedikit nekat.
Makassar, 26 April 2016
wah aku belum pernah ke Makasar nih,mudah-mudahan suatu hari bisa kesama
BalasHapusAmiiin... Insya Allah do'anya pasti dikabulkan.
HapusAmiiin... saya pun berharap demikian, pengen sekali memiliki pengunjung yang banyak dan bertambah setiap harinya.
Hapusselamat datang di Jakarta. semoga betah di sana. :D
BalasHapusBetah bangad mas agung. Malah nggak pengen lama-lama waktu itu.
HapusWah klo pengalaman delay sih sering mas tapi yang pesawat warna merah huhu
BalasHapusJangan-jangan sama dengan pesawat yang saya tumpangi lagi. Hehehe... Cuma nebak aja.
Hapus