Cahaya bisa
mempengaruhi mood dan psikologi? Ah, masa sih bisa sampai segitunya. Yang benar
saja, kayanya nggak mungkin deh. Jangan mengada-ngada bro, yang realistis saja
ngomongnya.
Perasaan yang
bisa memberikan pengaruh mood alias suasana hati itu seperti saat mendengarkan
musik, melihat warna yang disukai, melakukan sesuatu berdasarkan hobi,
olahraga, nonton, dan nggak mencium aroma yang ada pada masakan atau makanan
serta minuman.
Nah, ini malah
cahaya. Bagaimana caranya cahaya bisa mempengaruhi mood? Sejak kapan hal itu
terjadi dan tahu dari mana? Dan masih banyak pertanyaan-pertanyaan lainnya
berputar dalam kepala. Yang tentu saja semuanya menuntut untuk segera di jawab
sebelum menjadi beban pikiran dalam waktu yang lama.
Untungnya, saya
nggak perlu membutuhkan waktu untuk menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
itu. Malah jawaban itu datang dengan sendirinya saat mengambil mata kuliah
Perancangan Ruang Dalam atau Interior. Bahkan termasuk ketika mengikuti seminar
yang berhubungan dengan cahaya. Dimana dari kedua moment itu, saya akhirnya
sadar dan percaya bahwa cahaya bisa juga mempengaruhi mood seseorang.
Tak hanya itu
saja, lewat cahaya mood juga bisa dihadirkan atau dengan kata lain bisa
di atur. Tentunya hal itu harus melewati perencanaan dan dilanjutkan ke tahap
desain, yang tak lain dilakukan oleh arsitek. Kemudian barulah masuk ke tahap
terakhir, yakni mewujudkan hasil desain
tersebut ke dalam bentuk nyata.
Seperti yang
pernah dikatakan oleh dosen mata kuliah interior saya beberapa tahun lalu, bahwa
desain yang baik mampu mengatur suasana hati penggunanya sesuai dengan
kebutuhan. Contohnya, untuk ruang kerja sebaiknya dibangun suasana yang mampu
meningkatkan semangat bekerja dan memacu kreativitas. Sebaliknya, ruang tidur
harus dibuat senyaman mungkin agar mampu membuat rileks dan 'memaksa' kita
untuk beristirahat.
Pencapaian
suasana ini dilakukan dengan memanfaatkan pendekatan indera. Mulai dari visual
(mata), audial (telinga), raba/sentuh, hingga indera penciuman. Meski semua
indera berperan, tetap saja mata memegang peranan paling penting. Desain memang
erat kaitannya dengan dunia visual. Maka tak heran kalau kemudian ada
penelitian yang menyebutkan bahwa pencahayaan bisa mengubah suasana hati atau
psikologi penggunanya.
Hal senada juga
pernah disampaikan oleh Ren Katili (Arsitek tropis dan interior) setahun yang
lalu. Ketika itu ia menjadi pemateri seminar yang diadakan oleh PT Philips
Indonesia di Mall Ratu Indah (MaRI) Makassar. Dimana kebetulan juga saya merupakan
salah satu peserta seminar yang hadir. Dan saya pun mencoba mendengarkan dengan
seksama apa yang disampaikan mengenai penggunaan cahaya dalam hunian.
Menurutnya,
cahaya matahari (daylight) berubah sepanjang hari. Mulai dari pagi
hingga menjelang malam, yang mana yang mengalami perubahan adalah intensitas
dan warna cahaya itu sendiri. Perubahan inilah yang kemudian mempengaruhi
hormon dalam tubuh, yaitu cortisol dan melatonin.
Sekitar pukul
9.00, hormon cortisol meningkat karena terkena cahaya matahari sehingga
kita merasa aktif dan bersemangat. Sementara, ketika cahaya matahari berkurang
(sekitar pukul 15.00), hormon melatonin mengalahkan cortisol
sehingga kita merasa lelah dan mengantuk.
Namun demikian,
kita juga dapat mengubah atau mengatur pencahayaan itu ketika masuk ke ruangan,
sehingga mood tetap terjaga. Sedangkan tujuannya lainnya adalah untuk
membuatnya tidak berlebihan atau sebaliknya saat masuk ke dalam ruangan. Yah,
kurang lebih bisa di atur seperti yang di inginkan.
Lalu bagaimana
dengan cahaya buatan seperti lampu. Apakah kita bisa mengaturnya seperti halnya
yang terjadi pada cahaya matahari?
Jawabannya tentu
saja bisa, malah lebih mudah lagi bahkan kamu bisa berkreasi sesuai
imajinasimu. Entah itu mau di tempatkan di ruang tamu, ruang keluarga, ruang
makan, kamar tidur, maupun ruangan-ruangan lainnya. Sehingga mood dan
psikologi penghuni di dalam ruangan tetap terjaga dan aktivitas jadi lancar.
Contoh, nafsu
makan berkurang ketika berada diruang makan. Maka untuk membuatnya tetap
terjaga bahkan meningkat, kamu bisa mensiasatinya dengan mendesain area ruang
makan itu seperti suasana di restoran, cafe-cafe dan semacamnya. Pengunaan cahaya
redup dan romantis seperti itu bisa membangkitkan nafsu makan. Percaya atau
tidak, coba saja bandingkan saat makan di rumah dengan pencahayaan yang biasa-buasa
saja dengan saat berada di restoran atau semacamnya.
Begitu pula dengan
di ruangan lainnya, kamar tidur misalnya. Di sini kamu bisa menggunakan lebih
dari satu pencahayaan, yang tentunya fungsinya berbeda-beda. Dimana area membaca,
lemari dan meja rias menggunakan pencahayaan yang terang. Sedangkan area tempat
tidur sebaiknya menggunakan cahaya redup, seperti biru yang bisa membuat kita
jadi rileks. Atau bisa juga menggunakan warna lainnya yang bisa menghadirkan
suasana romantis (buat kamar pasangan). Kamu bisa meniru suasana kamar
di hotel untuk yang satu ini.
Intinya, cahaya
juga ternyata bisa mempengaruhi mood. Dimana kamu bisa mengaturnya sesuai
dengan fungsi setiap ruangan dan aktivitas penghuninya. Sehingga kita merasa lebih
nyaman dalam beraktivitas.
So... Apakah kamu
sudah tahu tentang hal ini dan mencoba
mempraktekkannya dalam hunianmu? Kalau belum, mungkin susah saatnya untuk di
coba. Tidak ada salahnya kan mencoba menerapkannya.
Makassar, 28 Juli 2016
Pantesan kalo uda jam 9 pagi rasanya seger dan energik ya
BalasHapusSalah satu pengaruhnya ya itu tadi, soal cahaya.
HapusBaru tau aku kalo cahaya itu ada pengaruhnya...nice infonya gan..:)
BalasHapusSama-sama gan, semoga bermanfaat.
HapusAku malah nggak bisa tidur kalau pencahayaan kamar redup, rasanya malah pusing. Mending terang atau gelap sama sekali kalau buat kamar.
BalasHapusBisa jadi karena faktor kebiasaan. Tapi kalau mau nyoba, bisa meniru pencahayaan kaya di hotel-hotel.
Hapusbetul mas, satu contoh mudahnay ketika kita sdh menyalakan lampu tidur, gak lama kemudian kita mengantuk
BalasHapusIya, kurang lebih seperti itu contoh paling simple.
Hapuskalo dari jenis lampunya itu ngaruh juga gak ya mas? misalkan lampu biasa dengan lampu LED.
BalasHapusJenis lampu ada juga ngaruhnya mas. Termasuk antara Lampu Biasa dan LED. Pertama yang saya coba tes mengenai suhu. Lampu biasa itu panas yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan lampu LED. Cahaya yang di hasilkan juga ada perbedaannya.
HapusHanya saja soal harga, lampu LED lebih mahal dari lampu biasa. Tapi kalau mau rumahnya menggunakan lampu LED, saran saya cicil saja dulu belinya. Itu kalau dana yang di miliki terbatas.
iya pengaruh banget, teman ku yang arsitek juga mempelajari tentang ini pencahayaan. bisa kita manfaatkan untuk dalam keseharian agar mood jadi positif terus :)
BalasHapustrimakasi gan sudah berbagi
Setuju tuh, di manfaatkan untuk hal yang positif. Semoga bermanfaat gan.
HapusKalo di kantor peng-aplikasiannya gimana ya mas? Kadang terlalu terang juga, silau...
BalasHapusBisa jadi saat membeli lampu tidak memperhatikan faktor pengguna atau nggak jenis ruangnya. Artinya, lampu yang di beli cahaya terlalu tinggi. Coba gunakan lampu yang watt-nya dibawah yang saat ini digunakan. Atau nggak bisa juga menggunakan lampu LED yang bisa di atur ke beberapa mode pencahayaan. Kalau nggak salah baca, sekarang sudah ada yang sampai 3 mode pencahayaan, yakni terang, sedang dan redup seperti cahaya lampu tidur dikamar hotel.
HapusSemoga bisa membantu.
Tapi saya malah sering mengantuk ketika jam-jam 10 pagi
BalasHapusBiasa begadang sampai shubuh mungkin makanya, suka ngantuk. Atau suka sarapan nasi yang banyak setiap paginya. Terakhir, bisa jadi penyakit bawaan.
Hapus