Jumat, 08 Juli 2016

Begini Rasanya Lebaran Di Kampung Orang

Begini Rasanya Lebaran Di Kampung Halaman Orang
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1437 Hijriah
Allahu Akbar... Allahu Akbar... Allahu Akbar...
Laa Ilaha Illallahu Wallahu Akbar...
Allahu Akbar Walillahilhamd...

Gema takbir dari imam langsung menyambut usai mengucapkan salam sehabis shalat magrib (05 Juli 2016). Saya yang malam itu berada di shaf kedua langsung memperbaiki posisi duduk, dari posisi tahiyat akhir menjadi duduk bersimpuh seperti posisi duduknya para sinden, sambil mengikuti imam yang mengundangkan takbir tentunya.
Malam itu, di Masjid Nurul Hasan yang baru saya duduk bersimpuh dengan wajah yang tertunduk. Dada ini langsung bergetar hebat seiring gema takbir yang dikumandang oleh sang imam. Rasa kagum dalam hati pun langsung menyala. Yang kemudian perlahan-lahan mengalir mengikuti aliran darah menuju wajah dan menjadikan rasa senang serta sedih menjadi satu. Bahkan berakhir dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

Saya senang karena tahun ini bisa menjalankan ibadah puasa dan ibadah-ibadah lainnya selama sebulan penuh, meski terkadang di dalamnya ada-ada saja drama yang terjadi. Di mana beberapa kali saya bangun di waktu-waktu kritis, atau dengan kata lain waktu sahur tinggal beberapa menit. Bahkan tak jarang saya sahur dengan menu seadanya, sendirian pula.

Sepiring nasi, sepotong tempe (kadang juga perkedel), segelas air putih, dan sepotong paha ayam (kadang juga telor dadar) menjadi menu andalan jika saya tidak sempat ke pasar belanja ikan dan sayur. Itu pun saya beli dulu di warteg untuk ayam atau telor dadar dan perkedel atau tempe. Belinya pun jam 2 atau nggak jam 3 dini hari. Tapi kalau telat bangun, cukup rebus mie saja. Biasa, strategi malasnya anak rantau yang nge-kost. Hehehe... *jangan ditiru*

Lalu, kenapa di saat bersamaan saya bersedih pula?

Saya bersedih karena waktu begitu cepat berlalu, banyak kenangan yang baru terasa menjelang hari-hari terakhir ramadan, seperti kebersamaan saat buka puasa, dan masiih banyak lagi. Ibadah-ibadah yang saya lakukan pun masih belum maksimal, apalagi 4 hari menjelang lebaran. Tahu kan apa yang saya maksud? Tapi kalau nggak juga gak apa-apa, cukup saya saja sama Allah SWT yang tahu.

Kesedihan lainnya karena tahun ini saya kembali tidak jadi pulang kampung. Yang artinya, tahun ini menjadi tahun ke-5 saya lebaran di perantauan alias kampungnya orang. Saya batal pulang kampung karena salah satu adik saya tanggal 11 Juli harus pembekalan, sedangkan dirumah tidak ada temannya. Tak hanya itu saja, semua itu karena pesan dari orangtua (ibu) untuk tidak pulang kampung agar bisa menemani adik saya yang baru setahun ini di Makassar. Itu pun belum ditambah dengan alasan biaya yang lumayan mahal.

Sekadar informasi saja, untuk pulang ke kampung halaman saya, yakni pulau Tomia (WaKaToBi), memakan biaya kurang lebih 500 ribu sekali jalan (mudik). Itu sudah dihitung dengan biaya naik taksi, ojek darat dan laut plus ngemil atau ngopi di kapal PELNI. Untuk baliknya pun kurang lebih memakan biaya yang sama, yakni 500 ribu juga. Artinya untuk keluarga saya yang kebetulan 3 bersaudara bisa memakan 3 juta untuk mudik dan balik. Padahal pulang kampungnya cuma seminggu saja dan uang 3 juta itu bisa dipakai biaya 2 bulan bahkan lebih di tempat kuliah untuk 3 orang. Lumayan kan...

Kembali lagi ke topik awal.

Malam itu, dengan duduk bersimpuh dan wajah tertunduk saya ikut mengumandang takbir bersama jamaah lainnya. Semakin saya meresapi takbir yang saya kumandangkan, tanpa sadar mata saya ikut berkaca-kaca dan semakin lama semakin basah. Dari lubuk hati yang paling dalam, saya tak hanya sedih karena ramadan telah berakhir. Saya sedih karena rindu dengan suasana kampung halaman, khususnya kedua orang tua.

Saking sedihnya, saya tak mampu lagi mengumandang takbir seperti jamaah lainnya. Yang ada malah berganti dengan suara tersedu-sedu dan cucuran air mata yang tak bisa dibendung lagi. Tak hanya itu saja, saya tidak berani menoleh ke kiri dan kanan, apalagi meluruskan pandangan ke depan. Saya malah tetap mempertahankan posisi wajah tertunduk dan sesekali menyeka air mata yang semakin banyak membasahi pipi. Semua itu saya lakukan karena tidak ingin orang lain tahu apa yang saya rasakan saat itu.

Kumandang takbir pun berakhir. Selesai imam membaca doa, satu persatu jamaah bergegas meninggalkan shaf dan masjid, termasuk saya. Saat menuju pintu keluar masjid, saya sedikit menunduk agar tidak ada yang tahu kalau saya habis olahraga mata, yang mana menyebabkan mata saya merah dan bawah mata sedikit bengkak. Hehehe...

*    *    *

Singkat cerita, hari yang di nanti-nanti pun tiba. Usai shalat shubuh, saya langsung mandi kemudian berpakaian dan tak lupa makan serta minum terlebih dahulu. Kurang lebih jam 6 pagi, saya langsung menghidupkan motor kesayangan dan memacunya menuju arah pantai.

Masjid Raya Makassar
Masjid Raya Makassar via id.wikipedia.org
Pagi itu, tempat yang menjadi tujuan saya untuk shalat Idul Fitri ada dua. Pertama Pantai Losari dan yang kedua Lapangan Karebosi. Awalnya jalanan yang saya lalui mulus-mulus saja, namun ketika sampai di depan Kodam VII Wirabuana dan Sekolah Polisis Negara (SPN) Batua, lalu lintas mulai tersendat. Banyak mobil dan motor parkir di pinggir jalan, yang tak lain adalah kendaraan mereka yang akan menunaikan shalat Idul Fitri dilapangan kedua institusi negara itu.

Usai melewati rintangan pertama itu, jalanan yang saya lalui kembali mulus. Namun ketika sampai di depan Rumah Sakit Awal Bross, jalanan mulai macet. Saya menduga, pasti karena banyak yang shalat di Masjid Al Markas Al Islami. Kurang lebih 15 menit kemacetan itu saya lewati, dugaan saya terjawab dan benar adanya. Jamaah yang mau shalat di Masjid Al Markas Al Islami membludak dan tak tertampung meski sudah menggunakan halaman masjid yang begitu luas. Terpaksa jamaah yang datang belakangan menggelar sajadah mereka di jalan sampai sejauh kurang lebih 200 meter jauhnya.

Saya pun tetap melanjutkan perjalanan seperti tujuan semula. Lagi-lagi kemacetan semakin bertambah. Setelah melihat jam di smartphone yang menunjukkan pukul 06.30 Wita, akhirnya saya memutuskan untuk singgah di masjid terdekat saja. Pilihan pun jatuh pada Masjid Raya Makassar.

Untungnya, sesampainya di masjid tersebut, saya masih kebagian tempat kosong dilantai 2 yang di khususkan untuk jamaah laki-laki. Dan tak berselang lama, shalat Idul Fitri pun dimulai.

Setelah semua rangkaian shalat Id selesai, saya menyempatkan waktu sebentar melihat Al Quran besar yang ada di dalam masjid. Yah, sekalian menunggu jamaah di pintu keluar berkurang karena pagi itu lumayan macet juga. Saat saya rasa sudah berkurang, saya pun bergegas menuju tempat penitipan sendal dan setelah itu langsung menuju tempat parkir motor.

Lalu saya pun memacu motor dengan pelan-pelan dengan tujuan untuk menyaksikan suasana lebaran di Makassar, yang untuk pertama kalinya juga saya melaksanakan shalat Idul Fitri jauh dari kontrakan. Dari yang saya pantau, jalanan begitu ramai dan lumayan macet juga. Namun satu yang membuat saya nggak habis pikir adalah sampah koran dimana-mana. Beginikah kebiasaan warga kota setiap kali lebaran.

Entahlah, hanya mereka yang tahu!

Selain pemandangan sampah koran yang bertebaran dimana-mana, antusias warga yang melaksanakan shalat Id begitu tinggi. Terbukti, jamaah yang begitu banyak hingga meluber ke jalanan sampai jarak kurang lebih 200 meter dari area masjid.

Namun sayangnya pemandangan indah itu nggak bertahan lama. Beberapa menit kemudian jamaah mulai meninggalkan area masjid dan sekitarnya, sehingga jalanan pun mulai sepi dan suasana itu terasa di sepanjang jalan yang saya lalui. Bahkan ketika sampai di rumah kontrakan, suasana sepi semakin terasa sekali hingga sore hari.

Yah, mau bagaimana lagi. Begitulah rasanya lebaran di kampung orang, di tempat dimana saya merantau alias di kota besar, seperti Makassar. itulah ceritaku, mana ceritamu.

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1437 Hijriah
Mohon Maaf Lahir dan Bathin
Makassar, 8 Juli 2016

6 komentar:

  1. maaf kahir batin ya, semoga tahun depan bisa lebaran dikampung halaman sendiri

    BalasHapus
  2. dulu aku pernah saat kuliah gak bisa mudik padahal jarak bandung dan bogor begitu dekat, tapi waktu itu aku lagi penelitian yang gak bisa ditinggal, jadinay lebaran di tempat kost sendirian

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pasti lebih sepi lagi kalau dibandingin dengan yang saya alami sekarang.

      Hapus
  3. Arsitek Rumah Indonesia
    http://www.architecture-consultants.com

    BalasHapus
    Balasan
    1. Siip, semoga bisa bekerja sama di dunia arsitektur.

      Hapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...