Selamat Hari Raya Idul Fitri 1437 Hijriah |
Allahu Akbar...
Allahu Akbar... Allahu Akbar...
Laa Ilaha Illallahu
Wallahu Akbar...
Allahu Akbar
Walillahilhamd...
Gema takbir dari imam langsung menyambut usai mengucapkan salam sehabis shalat magrib (05 Juli 2016). Saya yang malam itu berada di shaf kedua langsung memperbaiki posisi duduk, dari posisi tahiyat akhir menjadi duduk bersimpuh seperti posisi duduknya para sinden, sambil mengikuti imam yang mengundangkan takbir tentunya.
Malam
itu, di Masjid Nurul Hasan yang baru saya duduk bersimpuh dengan wajah yang
tertunduk. Dada ini langsung bergetar hebat seiring gema takbir yang
dikumandang oleh sang imam. Rasa kagum dalam hati pun langsung menyala. Yang kemudian
perlahan-lahan mengalir mengikuti aliran darah menuju wajah dan menjadikan rasa
senang serta sedih menjadi satu. Bahkan berakhir dengan mata yang mulai
berkaca-kaca.
Saya
senang karena tahun ini bisa menjalankan ibadah puasa dan ibadah-ibadah lainnya
selama sebulan penuh, meski terkadang di dalamnya ada-ada saja drama yang
terjadi. Di mana beberapa kali saya bangun di waktu-waktu kritis, atau dengan
kata lain waktu sahur tinggal beberapa menit. Bahkan tak jarang saya sahur
dengan menu seadanya, sendirian pula.
Sepiring
nasi, sepotong tempe (kadang juga perkedel), segelas air putih, dan sepotong paha
ayam (kadang juga telor dadar) menjadi menu andalan jika saya tidak sempat ke
pasar belanja ikan dan sayur. Itu pun saya beli dulu di warteg untuk ayam atau
telor dadar dan perkedel atau tempe. Belinya pun jam 2 atau nggak jam 3 dini
hari. Tapi kalau telat bangun, cukup rebus mie saja. Biasa, strategi malasnya
anak rantau yang nge-kost. Hehehe... *jangan ditiru*
Lalu,
kenapa di saat bersamaan saya bersedih pula?
Saya
bersedih karena waktu begitu cepat berlalu, banyak kenangan yang baru terasa
menjelang hari-hari terakhir ramadan, seperti kebersamaan saat buka puasa, dan
masiih banyak lagi. Ibadah-ibadah yang saya lakukan pun masih belum maksimal,
apalagi 4 hari menjelang lebaran. Tahu kan apa yang saya maksud? Tapi kalau
nggak juga gak apa-apa, cukup saya saja sama Allah SWT yang tahu.
Kesedihan
lainnya karena tahun ini saya kembali tidak jadi pulang kampung. Yang artinya,
tahun ini menjadi tahun ke-5 saya lebaran di perantauan alias kampungnya orang.
Saya batal pulang kampung karena salah satu adik saya tanggal 11 Juli harus
pembekalan, sedangkan dirumah tidak ada temannya. Tak hanya itu saja, semua itu
karena pesan dari orangtua (ibu) untuk tidak pulang kampung agar bisa menemani
adik saya yang baru setahun ini di Makassar. Itu pun belum ditambah dengan alasan
biaya yang lumayan mahal.
Sekadar
informasi saja, untuk pulang ke kampung halaman saya, yakni pulau Tomia (WaKaToBi),
memakan biaya kurang lebih 500 ribu sekali jalan (mudik). Itu sudah dihitung dengan
biaya naik taksi, ojek darat dan laut plus ngemil atau ngopi di kapal PELNI. Untuk
baliknya pun kurang lebih memakan biaya yang sama, yakni 500 ribu juga. Artinya
untuk keluarga saya yang kebetulan 3 bersaudara bisa memakan 3 juta untuk mudik
dan balik. Padahal pulang kampungnya cuma seminggu saja dan uang 3 juta itu
bisa dipakai biaya 2 bulan bahkan lebih di tempat kuliah untuk 3 orang. Lumayan
kan...
Kembali
lagi ke topik awal.
Malam
itu, dengan duduk bersimpuh dan wajah tertunduk saya ikut mengumandang takbir
bersama jamaah lainnya. Semakin saya meresapi takbir yang saya kumandangkan, tanpa
sadar mata saya ikut berkaca-kaca dan semakin lama semakin basah. Dari lubuk
hati yang paling dalam, saya tak hanya sedih karena ramadan telah berakhir. Saya
sedih karena rindu dengan suasana kampung halaman, khususnya kedua orang tua.
Saking
sedihnya, saya tak mampu lagi mengumandang takbir seperti jamaah lainnya. Yang ada
malah berganti dengan suara tersedu-sedu dan cucuran air mata yang tak bisa dibendung
lagi. Tak hanya itu saja, saya tidak berani menoleh ke kiri dan kanan, apalagi meluruskan
pandangan ke depan. Saya malah tetap mempertahankan posisi wajah tertunduk dan
sesekali menyeka air mata yang semakin banyak membasahi pipi. Semua itu saya
lakukan karena tidak ingin orang lain tahu apa yang saya rasakan saat itu.
Kumandang
takbir pun berakhir. Selesai imam membaca doa, satu persatu jamaah bergegas
meninggalkan shaf dan masjid, termasuk saya. Saat menuju pintu keluar masjid, saya
sedikit menunduk agar tidak ada yang tahu kalau saya habis olahraga mata, yang
mana menyebabkan mata saya merah dan bawah mata sedikit bengkak. Hehehe...
* * *
Singkat
cerita, hari yang di nanti-nanti pun tiba. Usai shalat shubuh, saya langsung
mandi kemudian berpakaian dan tak lupa makan serta minum terlebih dahulu. Kurang
lebih jam 6 pagi, saya langsung menghidupkan motor kesayangan dan memacunya
menuju arah pantai.
Masjid Raya Makassar via id.wikipedia.org |
Usai
melewati rintangan pertama itu, jalanan yang saya lalui kembali mulus. Namun ketika
sampai di depan Rumah Sakit Awal Bross, jalanan mulai macet. Saya menduga,
pasti karena banyak yang shalat di Masjid Al Markas Al Islami. Kurang lebih 15
menit kemacetan itu saya lewati, dugaan saya terjawab dan benar adanya. Jamaah yang
mau shalat di Masjid Al Markas Al Islami membludak dan tak tertampung meski
sudah menggunakan halaman masjid yang begitu luas. Terpaksa jamaah yang datang
belakangan menggelar sajadah mereka di jalan sampai sejauh kurang lebih 200
meter jauhnya.
Saya
pun tetap melanjutkan perjalanan seperti tujuan semula. Lagi-lagi kemacetan
semakin bertambah. Setelah melihat jam di smartphone yang menunjukkan pukul 06.30
Wita, akhirnya saya memutuskan untuk singgah di masjid terdekat saja. Pilihan pun
jatuh pada Masjid Raya Makassar.
Untungnya,
sesampainya di masjid tersebut, saya masih kebagian tempat kosong dilantai 2
yang di khususkan untuk jamaah laki-laki. Dan tak berselang lama, shalat Idul
Fitri pun dimulai.
Setelah
semua rangkaian shalat Id selesai, saya menyempatkan waktu sebentar melihat Al
Quran besar yang ada di dalam masjid. Yah, sekalian menunggu jamaah di pintu
keluar berkurang karena pagi itu lumayan macet juga. Saat saya rasa sudah
berkurang, saya pun bergegas menuju tempat penitipan sendal dan setelah itu
langsung menuju tempat parkir motor.
Lalu
saya pun memacu motor dengan pelan-pelan dengan tujuan untuk menyaksikan
suasana lebaran di Makassar, yang untuk pertama kalinya juga saya melaksanakan
shalat Idul Fitri jauh dari kontrakan. Dari yang saya pantau, jalanan begitu ramai
dan lumayan macet juga. Namun satu yang membuat saya nggak habis pikir adalah
sampah koran dimana-mana. Beginikah kebiasaan warga kota setiap kali lebaran.
Entahlah,
hanya mereka yang tahu!
Selain
pemandangan sampah koran yang bertebaran dimana-mana, antusias warga yang
melaksanakan shalat Id begitu tinggi. Terbukti, jamaah yang begitu banyak
hingga meluber ke jalanan sampai jarak kurang lebih 200 meter dari area masjid.
Namun
sayangnya pemandangan indah itu nggak bertahan lama. Beberapa menit kemudian
jamaah mulai meninggalkan area masjid dan sekitarnya, sehingga jalanan pun
mulai sepi dan suasana itu terasa di sepanjang jalan yang saya lalui. Bahkan ketika
sampai di rumah kontrakan, suasana sepi semakin terasa sekali hingga sore hari.
Yah,
mau bagaimana lagi. Begitulah rasanya lebaran di kampung orang, di tempat
dimana saya merantau alias di kota besar, seperti Makassar. itulah ceritaku,
mana ceritamu.
Selamat
Hari Raya Idul Fitri 1437 Hijriah
Mohon
Maaf Lahir dan Bathin
Makassar,
8 Juli 2016
maaf kahir batin ya, semoga tahun depan bisa lebaran dikampung halaman sendiri
BalasHapusAmiiin...
HapusMaaf lahir dan bathin juga.
dulu aku pernah saat kuliah gak bisa mudik padahal jarak bandung dan bogor begitu dekat, tapi waktu itu aku lagi penelitian yang gak bisa ditinggal, jadinay lebaran di tempat kost sendirian
BalasHapusPasti lebih sepi lagi kalau dibandingin dengan yang saya alami sekarang.
HapusArsitek Rumah Indonesia
BalasHapushttp://www.architecture-consultants.com
Siip, semoga bisa bekerja sama di dunia arsitektur.
Hapus