www.kompasiana.com/kompasiana
|
Dua puluh enam tahun lalu, di desa terpencil di lembah sebuah gunung lahir seorang bocah dengan perawakan gemuk dan bulat. Seiring berjalannya waktu, bocah tersebut perlahan berubah menjadi pria dewasa yang kata orang adalah pemalu, kuno dan berperawakan tinggi. Bahkan akibat perubahannya dari bocah bulat menjadi pria yang tinggi tersebut, ia akhirnya di juluki “Tiang Listrik”.
Sungguh sebuah julukan yang bisa membuat orang tertawa geli ketika mendengarnya. Meskipun sering di panggil demikian, bocah yang kini menjadi pria dewasa tersebut tidak pernah mempersalahkannya. Toh... itu hanya sebuah panggilan saja, selama tidak merugikan dan membuat orang lain tetap senang, ya wajar-wajar saja.
Arif Rahman
begitulah nama lengkapku. Di mata teman-teman dan kebanyakan orang, aku biasa
di panggil arif, mas arif, atau bang ari. Saat ini sedang kuliah di jurusan
Arsitektur UMI Makassar dan sedang dalam proses mengerjakan skripsi sambil
bekerja paruh waktu mengawas proyek dan sesekali memanfaatkan waktu luang untuk
mengembangkan hobi baru, yakni menulis.
Oh iya, berkat
hobi baru (menulis), aku merasa terbantu dalam mengerjakan proposal sampai
skripsi yang sekarang sedang dalam proses asistensi. Bahkan proposal sendiri
hanya dalam tempo tiga hari sudah di ACC sama pembimbing I dan II. Alhasil, hal
itu membuat teman-teman jadi kaget dan bertanya-tanya bagaimana cara aku
mengerjakannya hingga secepat itu.
Namun tak hanya
itu saja pertanyaan yang muncul, melainkan ada lagi pertanyaan selanjutnya.
Bahkan setiap kali aku menjawab pertanyaan yang di ajukan, pertanyaan baru pun
lahir, atau dengan kata lain beranak pinak. Aku pun dengan sabar menjawab
setiap pertanyaan yang di ajukan sampai tuntas. Dari banyaknya pertanyaan, tak
ketinggalan juga pertanyaan yang bunyinya seperti ini : “Darimana kamu
belajar menulis seperti itu?”. Mendengar pertanyaan tersebut, aku pun
tersenyum dan dengan entengnya menjawab : “Dari Kompasiana”.
Ya... semua itu
berawal dari Kompasiana, dimana saat itu aku mendengarnya dari saudara yang
salah satu tulisannya terpilih sebagai salah satu pemenang lomba yang di adakan
oleh Kompasiana sendiri. Melihat hal itu, aku pun langsung tertarik untuk belajar
menulis. Segera saja aku membuat Kompasiana dan ke esokan harinya, yakni
tanggal 12 Januari 2013 dinyatakan terverifikasi.
Siapa sangka,
berkat belajar menulis di Kompasiana banyak manfaat yang aku dapatkan bahkan
untuk jangka panjang. Salah satu di antaranya, yakni menjadi penolong saat
mengerjakan proposal dan skripsi seperti saat ini. Dimana aku tidak kesulitan
lagi dengan semua itu dan enteng saja dalam mengerjakannya di kala banyak
teman-teman yang menganggap skripsi adalah sesuatu hal yang menakutkan bahkan
mengerikan. Aku juga tidak pusing lagi untuk memulai darimana, termasuk mencari
data-data yang dibutuhkan.
Bahkan saat
ujian proposal, hasil kerjaku tidak terlalu banyak di coret-coret. Yang ada
hanya masukan untuk digunakan saat penelitian nantinya dan proses selanjutnya,
yakni masuk ke tahap pengerjaan skripsi.
Makassar, 9 Oktober 2015
Catatan :
Tulisan ini di sadur dari Akun Kompasiana Saya
sekarang lebih mudah cari refrensi online ya mas, buat skripsi atau makalah pun tidak sulit lagi, salam sukses
BalasHapusKalau kemudahan, iya. Tapi kalau untuk penelitian lebih dominan ambil di buku.
Hapuspertamax nih disini, baru sempat berkunjung mas,
BalasHapusHehehe... selalu yang terdepan ya.
Hapus