Kata
orang, pengalaman pertama itu memang selalu terlihat menakutkan. Mungkin hal
itu dikarenakan kita belum tahu apa yang akan dilewati, bagaimana rasanya, dan
apa yang akan terjadi ke depannya, dalam hal ini baik dan buruknya.
Sedangkan
disisi lain, pengalaman pertama merupakan pintu masuk sekaligus jalan menuju
petualangan-petualangan selanjutnya. Itu menurut saya pribadi, entah bagaimana
dengan orang lain. Mungkin jawabannya akan berbeda, atau malah memiliki
kesamaan.
* * *
Bicara tentang pengalaman pertama, saya punya cerita menarik yang tak akan pernah terlupakan. Kejadiannya kurang lebih 7 tahun yang lalu, tepatnya saat perjalanan balik dari Surabaya menuju Makassar.
Ketika itu, untuk pertama kalinya saya berada di ketinggian lebih dari 33.000 kaki. Ya, itulah awal mula saya merasakan suasana dalam kabin pesawat. Sebelumnya sih pernah naik pesawat, tapi dalam khayalan saat masih kecil dan tinggal dikampung. Khayalan itu sendiri hadir setiap kali mendengar suara pesawat melintas dan mata ini langsung memandang ke arah langit mencari asal suara tersebut.
Yah,
namanya juga masih bocah. Tapi itu dulu, sebelum akhirnya khayalan itu
benar-benar nyata terjadi 7 tahun yang lalu. Kala itu, saya menghadiri acara
pernikahan sepupu di Surabaya sekaligus berlibur mumpung momentnya pas juga.
Bahkan saking kerasan, saya berada disana sampai 3 bulan lamanya. Itu pun sebenarnya
masih pengen lama-lama kalau nggak ditelpon ibu untuk balik ke kampung halaman
(Wakatobi) dulu.
Siang
itu juga saya langsung memutar otak dan berpikir bagaimana caranya mencari info
jadwal kapal di kota yang belum begitu saya kenal. Untungya ditengah
kebingungan tersebut, ada sesuatu yang menarik perhatian saya, tepatnya berada
dibawah meja diruang tamu. Di situ ada sebuah buku berwarna kuning bertuliskan
“Yellow Page”.
Karena
penasaran, saya lalu mengambil buku itu dengan harapan bisa menemukan keajaiban
di dalamnya. Pucuk dicinta ulam pun tiba, keajaiban akhirnya datang juga. Di
dalam buku itu terdapat banyak daftar alamat, termasuk travel. Saya pun segera
menelpon travel yang tempatnya masih di sekitaran Darmo Indah.
Awalnya
saya hanya menanyakan jadwal kapal PELNI dari Surabaya ke Makassar beserta
biayanya. Namun ternyata saya malah mendapatkan keajaiban selanjutnya. Cewek
diseberang sana (Costumer Service) yang mengangkat telpon saya
menawarkan promo tiket pesawat dan harganya cuma beda 60 ribu dengan harga
tiket PELNI.
Tanpa
berpikir panjang, saya langsung mengiyakan saja. Kapan lagi coba bisa naik
pesawat, apalagi dapat tiket murah diwaktu kritis. Senangnya tuh, pake
kebangetan sambil loncat-loncat. Yang buat tambah senang lagi, tiketnya
langsung diantar sama travelnya tanpa menunggu lama.
Esok
harinya, tepatnya sore hari, saya pun di antar oleh Om saya ke Bandara Juanda.
Sesampainya di bandara, saya sedikit gugup dan gusar, karena sore itu akan
menjadi pengalaman pertama dalam hidup saya, baik dengan suasana dalam bandara maupun
kabin pesawat. Bahkan saya sempat berpikir masuk pintu mana, setelah itu menuju
kemana, dan berakhir dimana.
Ah...
jadi malu jika di ingat kembali.
Namun
demikian, pikiran itu segera saya tepis dan segera mengumpulkan keberanian
sedikit demi sedikit. Saya juga tak lupa menggunakan ilmu banyak bertanya biar
nggak malu-maluin nantinya. Dan hal itu berhasil mengantarkan saya sampai ruang
tunggu terakhir yang nanti akan menuju pintu masuk pesawat.
Kurang
lebih 30 menit kemudian, saya dan penumpang lainnya sudah boleh masuk ke dalam
pesawat yang akan membawa kami ke Makassar tentunya. Saat itu saya lumayan
girang karena akhirnya impian dan khayalan untuk naik pesawat akhirnya
terwujud. Kegirangan itu menjadi sempurna karena berdasarkan nomor tiket, saya
mendapatkan seat dekat jendela. Yang artinya bisa menikmati pemandangan
Indonesia dari udara, khususnya dari Surabaya sampai Makassar.
Usai
menaruh tas dalam bagasi, saya pun segera menuju seat sesuai yang
tertera pada tiket. Setelah itu, saya melihat-lihat keluar melalui jendela.
Perlahan-lahan pesawat meninggalkan terminal dan menuju landasan pacu untuk
lepas landas, tapi saya malah jadi deg-degan.
Saya
deg-degan karena teringat cerita masa kecil dari orang-orang kampung yang sudah
pernah naik pesawat. Katanya, saat pesawat akan lepas landas bisa membuat kita
mual, isi perut bisa keluar, dan juga bisa membuat kepala pusing. Tak hanya itu
saja, saat di udara, pesawat akan berguncang saat menabrak awan. Rasanya tuh
sama seperti kapal kayu dilaut yang dihantam ombak.
Duh...
rasanya ingin segera keluar dari pesawat. Tapi apa daya, gengsi seorang anak
kampung saat itu sangat besar sehingga membuat saya tetap bertahan di dalam
pesawat. Bahkan saya sempat berkata dalam hati :
“Masa
lelaki perkasa ketakutan gara-gara sebuah cerita yang belum tentu
semuanya benar. Bagaimana mau keliling dunia kalau bepergian naik pesawat saja
takut setengah mati?”
Tak
lama kemudian para pramugari memperagarakan prosedur yang wajib di ingat oleh
para penumpang pesawat. Setelah itu, mereka juga tak lupa mengecek keamanan
seisi kabin dan memastikan semua penumpang telah memasang sabuk pengaman dengan
baik. Saat semua sudah oke, perlahan-lahan pesawat melewati landasan pacu,
kemudian sedikit menukik ke atas, dan...
... It turns out, not all the scary
stories was true.
Tapi
ada satu hal yang membuatku jadi senyum-senyum setiap kali mengingat kejadian
itu. Saya sempat menutup mata beberapa detik saat pesawat mulai menukik ke
atas, karena saat itu pesawat sedikit berguncang-guncang.
Namun
guncangan itu tidak belangsung lama, karena beberapa menit kemudian pesawat sudah kembali stabil dan
lambat laun perasaan menjadi lega. Dari balik jendela pesawat, saya bisa
menyaksikan pemandangan yang sungguh luar biasa indahnya. Apalagi saat itu
matahari perlahan-lahan mulai tenggelam, sehingga membuat semuanya menjadi
semakin wah dan berhasil menghipnotis saya.
Saya
pun bersyukur, karena semuanya berjalan dengan lancar dan baik-baik saja.
Semakin takjub dan terhipnotis lagi saat salah satu pramugari mengumumkan bahwa
pesawat sedang berada di ketinggian lebih dari 33.000 kaki.
Hhhmmm...
pantas saja dinginnya sedikit berbeda dari dinginnya AC pesawat. Namun demikian, saya kembali terbayang-bayang dengan pemandangan senja yang baru saya lewat. Bagi saya yang orang kampung ini, menikmati senja di udara merupakan salah satu momen yang langka.
Sayang moment itu tidak bisa saya abadikan, karena memang saya tidak punya kamera profesional. Jangankan kamera profesional, handphone yang saya miliki saat itu nggak ada kameranya, modelnya pun terbilang jadul. Satu-satunya yang bisa dibanggain adalah handphone tersebut ada senternya. Hehehe...
Ketakutan yang tadi saya rasakan di awal hampir semuanya terbantahkan,
termasuk saat pesawat nabrak awan. Ternyata, tidak semua awan membuat pesawat
berguncang seperti suasana kapal dilaut yang diterjang ombak.
Dan
satu hal yang pasti, perasaan saya jadi lega alias ploong. Yah... mirip-mirip
iklan sprite tu loh. Pengalaman pertama ini juga membawa saya ke petualangan
selanjutnya.
Makassar,
18 April 2016
hi,hi penaglaamn aku pertama saat aku kelas 4 sd, waktu itu sih pesaawt jaarng yang besar, seperti merpati. Nahm ini guncangannya terasa banget dibanding pesawat boieng
BalasHapusLumayan bikin was-was donk kalau begitu. Saya waktu itu promonya Citylink.
HapusSatu hal yg sy tahu dri pengalaman pertama. Kita akan mengingat kejadian itu lebih besar dibandingkan kisah yg sdh biasa kita lalui.
BalasHapusRasnya pengen jg naik pesawat, menikmati fajar di udara. Tapi kapan ya kira2. Doakan ya mas
Benar bangad, pengalaman pertama akan selalu di ingat ampe kapan pun.
HapusAmiiin... Semoga segera terkabul.
dulu ? gue sampe sekarang mas, kalau ada suara pesawat di langit, langsung gue nyari-nyari pesawat apa yang lagi mengudara hahahaha.
BalasHapuskarena kejadian-kejadian pesawat yang memakan korban, gue malah jadi takut mas. Kalau suruh pilih, gue lebih milih kapal laut dibanding dengan pesawat, kapal laut kalau kecelakaan gak terlalu takut kalau kita pegang pelampung, kalau pesawat kecelakaan, masa iya terjun pake pelampung. ini malah curhat ya hahahah
Hahaha... yang ada pelampungnya hilang entah gara-gara di bawa angin.
HapusSaat itu, pengetahuan akan pesawat belum terlalu banyak. Jadinya senang aja pas naik pesawat, karena salah satu mimpi saat kecil akhirnya terwujud. Beda dengan sekarang yang lebih banyak berdoanya daripada gembira saat naik pesawat.
masya Allah .. nice pic !
BalasHapussemburat merah orange kuning kala senja.
Hebaat si mas udah bisa terbang :)
Jadi inget saat pesawat "bergemerudhug" melintas samudera antara Australia dan Asia, kamipun tak henti komat-kamit doa, sebelah saya malah meringkuk sambil mewek ketakutan.
Terimakasih mas, share pengalaman yg seruuu !
Terima kasih untuk apresiasinya.
HapusWuih... pasti seru, tapi menakutkan juga tuh melintasi Australia dan Asia lewat udara. Apalagi di sertai gemuruh dari langit.
Kayaknya mengenai pengalaman pertama, sepakat nih sama mas timur... :)
BalasHapusmenikmati senja di udara patut disyukuri dong ya mas, khususnya untuk mas timur yang anak kampung wkwkwkwkwkw becanda mas... :)
Siiipppp... :)
Hehehe... becanda tetap diterima kok, lumayan buat hibur diri ini.
Hapusuntung dulu waktu pertama kali naik pesawat ada temennya, jadi kalau gak tahu bisa nanya biar gak keliatan banget udiknya hehehe
BalasHapusHahaha... Untung saja ya. Beda sama saya yang nggak ada temannya, jadinya kaya orang asing sendiri di dalam saat dalam pesawat.
HapusSaya penasaran sama pemandangan senja dari dalam kabin, belum pernah soalnya... pasti cantik sekali..
BalasHapusMantap bangad pemandangan senja kalau dari udara.
HapusAlhamdulilah bisa melawan rasa cemas karena cerita2 ya. Senng dong skr udah bisa naik pesawat :)
BalasHapusSenangnya pake bangad waktu itu, karena impian masa kecil akhirnya terwujud juga dan nggak perlu mengkhayal lagi.
Hapussaya pengen menikmati senja seperti halnya di atas, tapi kapan ya...hehe bagus artikelnya kreatif... suskes selalau ya gan..
BalasHapusInsya Allah, kesempatan itu suatu saat nanti pasti akan dirasakan juga.
HapusTerima kasih untuk apresiasinya dan sukses juga buat naufal.
mengusik hati :)
BalasHapusWaduh... bisa berabe donk kalau sampai hatinya terusik.
Hapus