Detik
tidak pernah melangkah mundur
Tapi
kertas putih itu selalu ada
Waktu
tidak pernah berjalan mundur
Dan
hari tidak pernah terulang
Tetapi
pagi selalu menawarkan cerita yang baru
Untuk
jiwa-jiwa yang tak pernah berhenti berharap
* * *
Ketika
harapan itu disertai kesabaran dan keyakinan serta di iringi doa pasti kelak
akan membuahkan hasil. Dan itulah yang saya alami dibulan ramadan kali ini,
bulan yang memang penuh dengan berkah dan barakah.
Apakah
yang sedang terjadi?
Jawabannya
tak lain adalah saya akhirnya bisa menjalankan ibadah puasa bersama hampir
seluruh keluarga. Dan yang paling membuat saya senang adalah dibulan ramadan
kali ini bisa sahur dan buka puasa bareng bapak dan ibu. Dimana setelah kurang
lebih 5 tahun lamanya tidak pernah sahur dan buka puasa bareng mereka. *semoga
tidak dicap anak durhaka*
Semakin
senang lagi, karena bukan hanya ibu dan bapak saja yang ikut sahur bareng sama
saya. Tetapi ada juga om (biasa saya panggil bapa tua), tante (mama tua) dan tak
ketinggalan juga salah satu dari tiga ponakan. Yang mana mereka semua dengan rela
datang dari jauh, yakni Kampung Tulehu, Ambon.
Bagi
saya, kehadiran mereka sungguh berharga dan membuat saya terharu, khususnya
dengan hadirnya ibu dan bapak. Sampai-sampai saya diam-diam menitikkan air mata
dibelakang mereka saking senangnya. Hhhmmm... pejantan tangguh ternyata bisa
mewek juga yah kaya cewe yang sedang dilanda galau.
Dengan
kehadiran mereka, tiada kata yang lebih indah untuk di ucapkan selain mengucapkan
terima kasih dan juga memohon maaf karena belum juga mempersembahkan toga alias
gelar Sarjana Teknik Arsitektur. Ah... jadi malu.
Kini,
saya tidak sendiri lagi untuk menyantap menu sahur. Sejak kehadiran mereka, tidak
ada lagi khayalan dan tetesan air mata setiap kali menu sederhana itu masuk
kekerongkongan dikala sahur. Sepiring nasi, sesendok sayur bening atau sesekali
di temani sayur sop, sepotong ikan, dan sepotong tahu atau tempe yang dulu agak
hambar saat masuk kerongkongan kembali menjadi enak, kurang lebih sama seperti
yang orang lain rasakan.
Ruang
makan yang sebelumnya sepi kini mendadak berubah menjadi ramai dan penuh warna.
Suasana kehangatan keluarga yang selama ini saya rindukan, akhirnya bisa
kembali saya rasakan. Meski semua itu saya rasakan diperantauan, kehangatan di
dalamnya tidak beda jauh dengan suasana dikampung. Bahkan kenangan-kenangan masa
kecil pun kembali terulang di tempat sederhana ini (rumah kontrakan).
Suara
panggilan ibu yang suka menyuruh saya makan banyak kembali terulang. Begitu pula
dengan ketegasan bapak yang sering meminta kami semua anak-anaknya untuk makan
bareng. Dan jika salah satu dari 3 anaknya malas-malasan, maka siap-siap untuk
menerima konsekuensi. Dimana biasanya nada panggilannya akan sedikit meninggi
dari sebelumnya. Dan hal itu kembali saya saksikan saat sahur beberapa hari
lalu.
Tak
hanya bapak, terkadang ibu pun sesekali ikut marah jika salah satu dari kami susah
dipanggil untuk sahur bareng. Namun saya yakin, semua itu dilakukan agar kami
anak-anaknya menjadi anak yang disiplin dan patuh kepada kedua orangtua.
Jika
kami anak-anaknya sudah semua berada ditempat makan, sebelum berdoa dan makan,
biasa bapak mengingat agar mengambil makanan sesuai dengan kemampuan. Bukan mengambil
makanan karena mengikuti ego, dalam hal ini mengambil banyak, yang
ujung-ujungnya malah tidak habis di makan.
Perintahnya
pun selalu tegas, ambillah makanan sedikit-sedikit dulu, nanti tambah lagi
kalau merasa belum kenyang. Kalau bapak sudah berkata seperti itu, tidak ada
yang berani melanggar dan coba-coba untuk membantah. Karena jika berani
coba-coba, maka konsekuensinya diceramahi sampai kuping panas.
Beda
lagi dengan ibu saya yang selalu menginginkan anaknya makan banyak. Alasannya pun
cukup simple, yakni agar kami anak-anaknya cepat gemuk. Tapi entah kenapa,
khusus saya pribadi, saya tetap saja kurus meski sudah makan banyak. Hal ini tidak
berimbang dengan tinggi badan saya. Dan akibat hal ini pula, keluarga besar dikampung
sana sering memanggil saya tiang listrik. Padahal saya nggak tinggi-tinggi
amat, hampir 180 cm doank. Hihihi...
Dari
semua yang telah mereka berikan dan lakukan hingga saat ini kepada kami anak-anaknya, sekali
lagi saya ucapkan “Terima Kasih Bu, Pak”.
Makassar,
21 Juni 2016
Yaah semua Ibu seneng kalau anaknya doyan makan.
BalasHapusHehehe... Senangnya pake bangad ya.
Hapusterimakasih kembali nak...
BalasHapusibu akan tetap menyayangimu nak walaupun cara dan pola makanmu menjengkelkan, nah...tuh kalau anakku sayang makannya rewog (baca: rakus) bapak dan ibu tentu gembira maratan langit...dong ah
Jadi malu dah. Hihihi...
Hapus