Saat pertama kali melihat gambar di atas ramai diperbincangkan dan dibagikan di media sosial yang bernama Facebook, aku jadi sedih dan sedikit trauma. Tapi bukan karena dikebukin, ditonjok, dan semacamnya ya. Aku sedih dan trauma karena di akhir tahun 2015 kemarin berakhir dengan sebuah kekecawaan.
Ya... aku
kecewa! Karena apa yang aku kerjakan selama lebih 4 bulan belakangan ini
ternyata sia-sia saja. Waktu yang aku luangkan serta ide yang aku wujudkan
untuk menghasilkan beberapa desain tidak dihargai oleh seorang owner yang
mengakunya orang baik dan taat beribadah. Sekali lagi, orang tersebut mengaku
dirinya orang baik dan taat beribadah.
Namun
sayangnya, saat dihadapkan dengan yang namanya “DUIT”, sisi baik yang selama
ini sering ia umbar dan ibadah yang dilakukan sepertinya sia-sia saja. Berbagai
alasan ia utarakan setiap kali aku menanyakan apa yang seharusnya menjadi
hakku. Bahkan tak jarang nomornya tidak bisa dihubungi (Handphone-nya
dimatikan) dan sms tidak dibalas setiap kali ditelpon atau di sms. Malah
belakangan ini komunikasi benar-benar terputus total.
Entah apa yang
ada dalam benaknya. Bahkan aku sampai berpikir seperti ini : “Mungkinkah ia
beranggapan bahwa aku ini hanyalah seorang mahasiswa yang bisa dipermainkan
seperti seorang anak kecil yang tidak tau apa-apa”. Entahlah!
Aku masih ingat
sekali, waktu minggu terakhir bulan Juli 2015. ia memohon bahkan merengek
seperti anak kecil kepadaku, baik lewat sms, telpon, dan bertemu meminta
langsung agar didesainkan sekolah (proyek) yang tinggal seminggu lagi deadline.
Ia pun menjanjikan bayaran sesuai dengan harga desain di Makassar. Karena aku
juga lagi butuh dana untuk skripsi dan studio akhir, maka aku pun
menyetujuinya. Di sisi lain, aku juga jadi kasihan sebenarnya karena ia adalah
teman dari temanku sendiri.
Apesnya lagi,
sebelum mendesain, ternyata aku harus turun lapangan dulu untuk melakukan
survey ke empat sekolah yang lokasinya antara satu dengan yang lainnya
berjauhan. Belum lagi ditambah bertepatan dengan hari libur, yang mana dalam
melakukan survey harus bertemu dengan tiap-tiap kepala sekolah untuk memastikan
kondisi lahan yang akan di desain. Al hasil, kurang lebih 3 hari baru selesai survey
yang aku lakukan.
Setelah survey
berakhir, mulailah aku mendesain ruang kelas baru (RKB) sesuai kondisi
tiap-tiap sekolah. Kurang lebih dua hari desain 4 sekolah tersebut kelar
semuanya. Karena sudah kelar, maka aku langsung memberikan kepadanya agar di
asistensi di dinas pendidikan. Anehnya, waktu itu ia protes karena setiap
sekolah yang aku desain menghabiskan kertas kurang lebih 25 lembar. Begini
bunyi protesnya : “Kenapa banyak sekali? Harusnya Cuma 5 sampai 6 lembar”.
Mendengar
kalimat tersebut, aku berkata dalam hati : “Nih orang tidak bisa membedakan
perencaan/desain dan menggambar”. Tak lupa juga menjelaskan sesuai dengan
ilmu yang aku dapatkan dijurusan Arsitektur. Kurang lebih seperti ini : “Kalau
untuk perencanaan, sebenarnya desain yang sudah jadi sekarang masih kurang dan
setahu saya tidak ada perencanaan yang seperti itu (hanya 5-6 lembar). Tapi
kalau menggambar, yang anda katakan sudah benar. Kalau tidak percaya, silahkan
asistensi dulu dan buktikan apa yang saya katakan”.
Usai penjelasan
tersebut, ia berlalu begitu saja. Aku sendiri tidak tau kemana ia memacu
kendaraannya. Namun saat menjelang malam hari, ia mengirim sms kepadaku dan
berkata “Apa kubilang, gambarnya masih kurang dan masih banyak lagi yang
harus di tambah”.
Dalam hati aku
berkata “Gila nih orang, perasaan tadi siang aku yang bilang itu gambar
sebenarnya sebenarnya masih kurang. Kok sekarang malah ia yang mengklaim
penjelasan saya”.
Meski demikian,
aku tetap membalas smsnya dan berkata “Oh iya, nanti saya kerjakan
kekurangannya, sms saja apa yang harus ditambah biar segera saya selesaikan”.
Lalu dikirimlah apa yang aku minta dan mulailah aku begadang kembali
mengerjakan apa yang telah aku sepakati. Esoknya, semua kekurangan dalam desain
selesai aku kerjakan dan tak menunggu lama segera aku berikan kepadanya.
Setelah serah
terima saat itu, aku mengira tidak ada lagi perbaikan karena yang bersangkutan
tidak memberikan kabar. Eh... hampir seminggu kemudian ada sms masuk ke
smartphone saya, yang isinya “Maaf lupa ngabarin kalau gambar harus direvisi
kembali dan waktu yang dikasih cuma satu hari”.
Dalam hati aku
berkata : “Gila! Harus diperbaiki dalam sehari, sedangkan aku masih kuliah
(perbaikan IPK), mana ngasih kabarnya deadline lagi. Kemana saja nih orang,
kenapa gak kasih kabar pas masa deadline-nya habis aja? Udah gitu sms
berulang-ulang dan maksa lagi harus segera dituruti meski udah dijelasin lagi
kuliah. Ya tuhan... mimpi apa aku semalam!”.
Dengan berat
hati dan terpaksa, aku meninggalkan ruang kuliah karena sms dan telpon yang
masuk dari nomor yang sama banyak sekali. Untungnya, dosen yang ngajar saat itu
adalah ketua jurusan yang sudah akrab denganku sehingga aku bisa meminta ijin
dengan tenang. Oh iya, aku akrab dengan ketua jurusan gara-gara ikut mendesain
proyeknya, yakni mendesain Rumah Sakit (RS) Pendidikan UMI.
Setelah
mendapat ijin, segeralah saya menuju warkop yang ia pilih sendiri yang jaraknya
lumayan jauh dari tempat saya kuliah dan biasa kena macet. Eh.. sampai di
warkop (setelah mutar-mutar nyari tentunya) malah aku yang duluan sampai
dan jadilah aku bengong-bengong sendiri di warkop tersebut. Padahal yang butuh
saya adalah dia, tapi malah saya yang harus ikuti maunya. Ya ampun... gak lagi
deh!
Kalau gak ingat
tanggungjawab dan butuh dana serta sudah sepakat sebelumnya, aku pengen mundur
diri aja. Hari itu, saking serius dan mengingat deadline tinggal hari itu juga,
aku sampai gak sadar merevisi gambar (4 sekolah) lebih 12 jam lamanya, yakni
dari jam 10 pagi hingga 12 malam.
Kini, setelah lebih
4 bulan berlalu, aku belum menikmati hasil keringatku tersebut. Bahkan yang
bersangkutan mulai banyak beralasan dan menyalahkan serta mengatakan aku
orangnya “MALAS”. Itu pun gara-gara salah satu sekolah yang kami kerjakan (yang
aku desain juga) gak kunjung selesai karena ulahnya sendiri, kalau ia sadar
dan mau intropeksi diri. Dimana ia selalu telat membayar gaji tukang dan selalu
dikurangi.
Bahkan aku
sendiri selama 2,5 bulan hanya dikasih uang transport 1 juta, itupun harus
dikurangi lagi 350 ribu karena sering dipakai buat beli bahan. Yang jika
dikalkulasi, berarti selama 2,5 bulan ini aku hanya mendapatkan uang transport
sebesar 650 ribu doank. Malah uang pribadi sendiri (kiriman orangtua)
ikut ke pake juga jadinya.
Ah...
pengalaman ini rasanya udah kaya film “NGENEST” yang di
sutradarai oleh Ernes Prakasa. Lalu, Salahkah Aku Meminta Apa Yang
Seharusnya Menjadi Hakku?
Curhat di malam minggu
Makassar, 9 Januari 2016
mas, aku bantuin ya nonjok tu teman mas nggak tahu diri, buat pelampiasan skripsiku yang tidak kunjung selesai mas
BalasHapusAduh mas, ntar jadi tambah ribet urusannya kalau main tonjok. Hehehe...
Hapushabiis, tu orang nggak menghargai hasil keringat mas, malah diakuin milik sendiri, Kena UU HAKI itu
HapusHanya bisa bersabar dan menyerahkan semuanya kepada Sang Pencipta saja. Biarkan waktu yang mengungkap semuanya.
Hapuskadang beberapa orang memang gak mengerti kalau hasil karya orang lain itu harus dihargai juga
BalasHapusItu dia Mbak Lidya yang bikin baper.
Hapusnyimak
BalasHapusnyimak juga
HapusSilahkan. Semoga bisa memetik hikmah dari pengalaman saya.
Hapusga da surat perjanjian gitu ya mas? susah sih ya kalo sama temen, kadang kita merasa ga enak tapi dianya jg gak ngerti...smoga ada jalan keluar terbaik dan rejekinya lancar
BalasHapusGak pake surat perjanjian, cuma sepakat mengenai harga bayaran aja. Itu dia Mbak Kania, saya merasa tidak enak untuk menagih dan gak terbiasa nagih orang.
Hapustidak salah kok...hehehehe
BalasHapusHehehe... ikutan ketawa aja kali yah enaknya.
HapusDuh miris banget ya, semoga bisa diambil hikmahnya ya mas, siapa tau nanti rejekinya diganti yang lebih besar daripada itu.
BalasHapusPengalaman yang berharga banget ya pasti. Tetep semangat mas :)
Insya Allah Mbak Mita, hikmahnya saja yang akan saya ambil dan akan melupakan apa yang telah terjadi.
HapusDuh, ada-ada aja, ya. Semoga segera dapat gantinya, ya. Pelajaran buat kita, jangan mudah terkecoh kesan pertama.
BalasHapusIya nih, perlu dijadikan sebagai pelajaran agar ke depannya tidak terulang lagi pengalaman kaya gini.
HapusSemoga cepat terganti, aamiin :).
BalasHapusSemoga, Amiiin...
HapusWaaaah, kok bisa gitu ya mas. Semoga diganti dengan yang lebih baik dan lebih berkah ya :D
BalasHapusEntahlah Mbak Anggi. Hanya bisa pasrah saja menghadapi ini semua.
Hapusmemang ada orang yang seperti itu. Jadikan pelajaran dan tetap semangat, ya :)
BalasHapusIya Mbak Keke, akan saya jadikan sebagai pelajaran. Makasih untuk supportnya, Insya Allah akan selalu semangat.
HapusJadi ngerasa nggak dihargain ya mas, dan tentu itu menyebalkan... Semoga ada hikmahnya mas timurrrr... :)
BalasHapusBanget mas Diar dan memang menyebalkan sekali.
HapusHadeh.. ikutan baper bacanya..
BalasHapusSemoga hasil karyanya diganti dengan yang lebih baik..
Jadi pelajaran juga kedepannya..
Kalau saya bukan baper lagi, tapi udah tahap gak bisa dibayangkan lagi.
HapusAmiiin... Semoga
Cocoknya orang-orang seperti namanya di ganti aja kali ya, jadinya "KAMPRETO" gitu bro.
BalasHapuskarena pada dasarnya ide dan waktu itu selalu beriringan :D
BalasHapusSetuju sekali. Yang permasalahan adalah seringkali kita menemukan orang yang tidak menghargai ide dan waktu yang diluangkan oleh oranglain kepadanya.
Hapussabar ya mas arif, sebagai arsitek muda, ini bisa dijadikan pembelajaran,..klo ada yang minta jasanya lagi kudu ditelisik apa sanggup memenuhi perjanjian awal ato ga...huhuuu
BalasHapusIya Mbak Gustyanita, harus waspada dan hati-hati lagi nih ke depannya.
Hapusmasya Allah perjuangan mas menyelesaikan tugas sungguh menjadikan motivasi. Just do t best.
BalasHapusAdapun penghargaan dari orang terkadang sgt pahit menyakitkan.
Tetaplah bersikap dg jiwa yg luhur.
Hikmahnya : utk k dpn perlu adanya srt perjanjian, sekalipun sahabat, bahkan saudara. Agar saling menghargai.
Sayapun pernah mengalaminya,
Rizki tak kan tertukar.
Allah beri rizki dan kemudahan dari hal yg tak disangka2, bisa jadi dari klien lain :)
Insya Allah, aku akan sabar dan menyerahkan semuanya kepada sang pemberi rezeki. Biarlah Dia yang menjawab semuanya.
Hapusikhlas aja mas, menurut saya itu kabar bagus, kenapa? Mas udah niat bantu, eh malah dicurangi, bukankah itu lucu? Ini bisa jadi pelajaran mas, sebelum melakukan proyek bisa dibuat sebuah surat yang menjelaskan biaya dan tanggung jawab masing-masing :)
BalasHapusIya mas Aldi, Insya Allah di ikhlasin saja dan akan saya jadikan sebagai pembelajaran juga.
HapusSeperti layaknya ngeblog yang membutuhkan ide dan waktu juga membutukan apresiasi dari pihak manapun. Dan lebih diapresiasi lagi dengan kebutuhan mendesak yang diperlukan saat ini. Saya rasa desain adalah seni yang tak terbatas nilainya dan perlu mendapatkan apresiasi yang setimpal :)
BalasHapusSeharusnya sih begitu, di apresiasi. Sekecil apa pun itu karya yang dihasilkan.
HapusTerima kasih telah menyempatkan waktunya untuk berkunjung ke blog saya.
BalasHapusNice bro. Ujian desainer emeng gitu ... Kudu tahan banting 😁
BalasHapusIya bro, harus tahan banting dan dijadikan sebagai pembelajaran ke depannya.
HapusMakasih untuk apresiasinya.
BalasHapus