"Hadiah
terbaik untuk buah hati adalah waktu Anda untuknya, sisihkan sejenak dan kita
mulai dengan mengantarkannya di Hari Pertama Sekolah." By Kemendikbud
Kurang
lebih seperti itulah pesan masuk ke handphone jadul saya sekitar tiga minggu
lalu, tepatnya Sabtu 16 Juli 2016 pukul 12 siang waktu Makassar. Awalnya saya
mengira itu adalah sms dari doi yang tinggal di Depok. Sayangnya setelah saya
buka ternyata dari Kemendikbud, tapi karena rasa penasaran yang tinggi saya
tetap membukanya bahkan membacanya hingga tuntas. Kemudian setelah itu, saya
kembali melanjutkan aktivitas menonton acara televisi di kost teman yang
kebetulan kunci kamarnya di titipkan kepada saya sebelum mudik ke kampung.
Namun
entah kenapa, pikiran saya malah sedikit terganggu dengan isi pesan itu. Saya
jadi teringat kembali dengan masa kecil, yang mana sempat juga merasakan
suasana TK selama setahun dan tahu bagaimana rasanya di antar oleh orang tua ke
sekolah. Waktu itu yang paling sering mengantar dan menjemput saya di tempat
itu, dengan jalan kaki tentunya adalah ibu.
Yah maklum sajalah, waktu saya kecil di pulau Tomia, Wakatobi sana, masih jarang yang punya sepeda motor. Bahkan kendaraan itu bisa di bilang barang langka dan hanya orang-orang tertentu saja yang memilikinya. Sehingga mau tidak mau harus jalan kaki di temani ibu saya, meski jarak dari rumah ke TK kurang lebih 500 meter.
Yah maklum sajalah, waktu saya kecil di pulau Tomia, Wakatobi sana, masih jarang yang punya sepeda motor. Bahkan kendaraan itu bisa di bilang barang langka dan hanya orang-orang tertentu saja yang memilikinya. Sehingga mau tidak mau harus jalan kaki di temani ibu saya, meski jarak dari rumah ke TK kurang lebih 500 meter.
Mungkin
ada yang bertanya-tanya, kok bapak kamu nggak ikut mengantar? Sebenarnya bapak
saya bukan nggak mau mengantar, tapi karena jarak tempat mengajar dengan rumah
jauh, yakni harus naik ke gunung yang jaraknya 7 kilometer dan harus ditempuh
kurang lebih satu jam dengan jalan kaki, maka kesempatan itu sepenuhnya di
ambil alih oleh ibu saya selama setahun penuh.
Setelah
setahun berlalu dan saya sudah masuk SD, barulah bapak saya punya kesempatan
untuk mengantar saya ke sekolah. Ketika itu, kami sudah punya rumah di gunung
dan jaraknya sangat dekat sekali dengan sekolah. Jaraknya cuma 20 meter,
sehingga saya dan bapak saya bisa berangkat sama-sama ke sekolah.
Kini,
setelah 23 tahun berlalu kenangan itu bangkit kembali berkat imbauan dari
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang sebelumnya sempat di pimpin oleh
bapak Anies Baswedan. Yang mana menganjurkan orang tua untuk mengantarkan
anaknya ke sekolah, bila perlu sampai ruang kelas. Dengan harapan agar terjalin
komunikasi antar orang tua murid dengan wali kelas.
Menariknya,
terobosan ini membuat sebagian orang kota yang super sibuk menganggapnya
sebagai hal baru. Padahal sebenarnya ini adalah budaya lama yang kembali
dihidupkan, mengingat di zaman yang sudah modern ini mulai jarang yang
melakukannya. Jangankan bagi para bapak-bapak, ibu-ibu pun sudah banyak yang
melakukan demikian. Apalagi menyekolahkan anaknya di sekolah yang punya layanan
antar jemput.
Semakin
menarik lagi, gerakan mengantar anak di Hari Pertama Sekolah ini mendapat
respon positif oleh seluruh instansi pemerintah. Hal ini bisa di lihat dari
aktifnya seluruh media memberitakan gerakan ini, baik media online, cetak,
maupun elektronika seperti televisi. Jangan instansi, para ibu orang tua yang
tidak bekerja di pemerintahan pun telihat antusias menyambut gerakan ini. Itu
yang saya lihat ketika sempat menonton liputan khusus mengenai gerakan ini yang
tentunya di siarkan di semua channel lokal.
Sebagai
anak desa yang kini sedang mencari peruntungan di kota sebagai anak kuliahan,
saya senang dan mendukung gerakan ini. Karena yang namanya pendidikan tidak
cukup kalau hanya mengandalkan satu pihak saja. Misalnya menyerahkan semuanya
ke sekolah karena merasa sudah membayar SPP dan mendidik hanyalah tugasnya para
guru. Bagaimana negara kita tidak pincang, kalau minset kita masih seperti itu
dan tidak ada keinginan untuk merubahnya. Di mana ego masing-masing begitu kuat
dan kokoh.
Andai
saja dari dulu kesadaran untuk berkolaborasi sudah dilakukan, maka bukan tidak
mungkin pendidikan di negeri kita ini lebih baik dari negara-negara lainnya.
Kolaborasi yang saya maksud adalah antara orang tua sebagai pendidik pertama di
rumah dan guru sebagai perpanjangan tangan dari para orang tua. Sedangkan
kolaborasi itu baru akan berjalan dengan baik jika kedua pihak mampu menjalin
komunikasi dengan baik pula. Dan momentum hari pertama masuk sekolah merupakan
salah satu cara untuk menjalin komunikasi baik itu.
Belajarlah Dari Sekolah Islami
Berbicara tentang kolaborasi dan gerakan mengantarkan anak di Hari Pertama Sekolah, saya jadi teringat kembali dengan pengalaman saat membantu seorang teman mengerjakan sebuah proyek yang berdekatan dengan sebuah Sekolah Islami (SD sampai SMP). Selama kurang lebih 2,5 bulan di tempat itu, yakni dari minggu terakhir September sampai awal Desember 2015, saya menemukan sebuah pemandangan unik.
Berbicara tentang kolaborasi dan gerakan mengantarkan anak di Hari Pertama Sekolah, saya jadi teringat kembali dengan pengalaman saat membantu seorang teman mengerjakan sebuah proyek yang berdekatan dengan sebuah Sekolah Islami (SD sampai SMP). Selama kurang lebih 2,5 bulan di tempat itu, yakni dari minggu terakhir September sampai awal Desember 2015, saya menemukan sebuah pemandangan unik.
Pemandangan itu tak lain adalah kebiasaan para orang tua yang mengantarkan dan menjemput anaknya di sekolah. Kebiasaan itu dilakukan setiap hari sekolah, jadi bukan hanya Hari Pertama Masuk Sekolah saja. Kecuali mereka yang memang rumahnya berada di luar Makassar, datangnya hanya di hari pertama dan terakhir sekolah.
Pelakunya
pun beragam, mulai dari ibu-ibu rumah tangga, tukang ojek, tukang becak, tukang
kayu, penjual sayur, dan orang-orang dengan ekonomi menengah ke atas pun saya
temukan di tempat itu. Menariknya, budaya itu menjadikan hubungan antara anak
dan orang tua terlihat semakin dekat.
Khusus
untuk orang tua yang anaknya masih kelas 1 dan 2 SD, kedekatan itu begitu
kental sekali terlihat. Terbukti, setiap ibunya menjemput di jam pulang, sang
anak selalu menceritakan apa yang di alaminya dari pagi hingga masuk bel
pulang. Selain pemandangan itu, komunikasi antara orang tua dan guru pun jadi
begitu akrab. Layaknya sebuah pasangan, antara guru dan orang tua murid
begitu saling memahami. Orang tua tak segan menanyakan apa yang dilakukan oleh
anaknya saat jam sekolah, apakah berperilaku baik atau sebaliknya. Begitu pula
dengan para guru, tak lupa menjawab apa yang ditanyakan oleh para orang tua
murid.
Saya
yang menyaksikan pemandangan unik nan indah itu, hanya bisa berkata dalam hati.
”Coba sekolah-sekolah lain yang tersebar di Indonesia ini melakukan hal yang
sama. Pasti tidak ada yang namanya salah paham antara guru dan orang tua murid.
Segala masalah selalu ada solusinya dan dibicarakan dengan kepala dingin.”
Ip Man dan Cristiano Ronaldo Pun Antar Anaknya ke Sekolah
Ketika Ip Man Menjemput Anaknya di Sekolah, dok. Pribadi |
Selain
pengalaman singkat itu, saya juga jadi teringat dengan film terbaru berjudul Ip
Man 3. Di mana di film tersebut, sosok Ip Man dan teman barunya yang merupakan
seorang tukang becak, sangat rajin sekali mengantar dan menjemput anaknya di
sekolah. Bahkan sampai-sampai rela menjaga dan mempertahankan sekolah anaknya
serta guru-gurunya dari serangan orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Bagi
kita yang merupakan penikmat film, mungkin kebanyakan hanya terpukau dengan
akting pemainnya. Namun tidak sadar bahwa dari film tersebut banyak yang bisa
kita petik dan bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, salah satunya
adalah budaya mengantarkan anak ke sekolah.
Di
luar sosok Ip Man, ada juga yang tak kalah menarik. Di mana terjadi di dunia
nyata, seperti halnya pengalaman singkat yang saya alami selama 2,5 bulan di
tahun 2015 kemarin. Dan itu datang dari Mega Bintang Real Madrid dan Portugal
yang sering di cap arogan. Ya, siapa lagi kalau bukan Cristiano Ronaldo.
Saat Cristiano Ronaldo Antar Anaknya ke Sekolah |
Siapa
sangka di balik sikapnya yang selalu di cap arogan, ia punya sosok kebapakan dan
penuh tanggung jawab. Seperti halnya orang tua pada umumnya, ia juga tidak mau
menyia-nyiakan kesempatan untuk mengantarkan anaknya ke sekolah.
* * *
Kalau
diperhatikan budaya yang ditunjukkan kedua sosok di atas, baik itu Cristiano
Ronaldo maupun sosok Ip Man di film Ip Man 3 terlihat sepele, namun banyak yang
tidak sadar manfaatnya sangat besar, utamanya bagi orangtua dan anak.
Untuk
orang tua, mengantarkan anak merupakan salah satu cara mendidik dengan kasih
sayang sekaligus menanamkan pondasi masa depannya. Sadar atau tidak, kebiasaan
ini juga dapat meningkatkan kepercayaan diri anak, termasuk kepercayaan anak
pada orang tua. Bahkan hubungan antara orang tua dan anak pun akan semakin
dekat. Mengapa? Karena anak akan merasa memiliki teman, sahabat, serta
pelindung. Di sisi lain kerja sama dan komunikasi antara orang tua dan guru
akan terjalin dengan baik.
Lalu
apa manfaatnya bagi sang anak. Tentunya yang pertama ia akan merasa orangtuanya
menyayanginya. Kepercayaan dirinya pun akan meningkat, rasa cemas berkurang,
merasa semakin dekat dengan orang tua, punya pelindung atau benteng pertahanan,
dan masih banyak manfaat lainnya yang akan muncul dengan sendiri.
Semoga
ada manfaatnya.
Makassar,
31 Juli 2016
Sumber Tulisan :
Di sadur dari akun Kompasiana Saya, klik di SINI untuk baca artikel aslinya.
saya pun menikmatinya lho..jalan bersama dengan anak-anak ke sekolah memang seru dan banyak membawa manfaat untuk orang tua dan anaknya sendiri
BalasHapusYang saya perhatikan juga begitu, seperti menarik dan banyak manfaatnya. Bahkan saya suka mengkhayal, kapan ya bisa melakukan hal yang sama seperti yang saya lihat.
Hapussebelum ada gerakan ini suamiku selalu nganter sekolah kok di hari pertama ,kalau aku sih memang gak kerja jadi bisa anter tiap hari :)
BalasHapusAsyik donk kalau gitu. Coba semua orang tua punya kesadaran untuk ngantar anaknya di hari pertama sekolah.
HapusSaya nunggu ada buntutnya dulu mas hahha
BalasHapusSaya doakan cepat dapat momongan.
HapusAmiiin...
mas, kalau kita belum punya anak gimana , hehehehe
BalasHapusBawa anak tetangga saja, sekalian bantuan juga. Hehehe...
Hapushahahahahahhahahaha bisa aja mas
Hapushihihi... kali aja mau coba.
HapusDi desa dari dulu orang tua ya pasti ngantar anaknya sekolah. Hanya saja, layaknya orang desa yang lain, terkadang selalu ngikut budaya orang kota. Anjuran mantan mendikbud memang bagus, menjaga agar budaya tersebut tidak luntur.
BalasHapusItu dia yang jadi masalah, kebiasaan mengikuti budaya orang kota. Padahal kadang hal itu berpotensi melunturkan budaya yang unik tersebut. Beruntung, mendikbud lama kembali menggalakkan budaya itu agar tetap ada dan menjadi ciri khas negeri.
Hapus