Minggu, 31 Desember 2017

Belajar Menghargai Rupiah dari Penjual ES Tong-Tong


Penjual ES Tong-Tong (Dok. Pribadi)
Tong… tong… tong….

Suara khas itu, makin lama makin jelas terdengar. Beberapa menit kemudian ia nampak lewat di depan kos. Aku yang dari tadi menunggu segera bergegas keluar dari kamar, di tangan kiri gelas kosong sudah siap sedangkan ditangan kanan beberapa pecahan uang receh Rp 100, Rp 200, Rp 500 dan Rp 1000, juga sudah aku siapkan.

Sesampainya di depan pagar kos, aku pun langsung berteriak. Mas, es tong-tongnya ke sini. Si masnya yang udah kenal juga sama aku langsung muter balik, tapi gerobak esnya tidak di kayuh seperti biasa, malah di dorong dengan semangat. Sesampainya di depan kos, ia sempat bertanya : “Tumben baru keliatan lagi, tidak kerja hari ini”.

Aku pun menjawab : “Nggak mas, pengen libur dulu. Mau istirahat, banyak cucian juga dan besok awal Desember lagi ada rencana mau keluar kota. Jadi hari ini semuanya harus aku siapin”.

Oh… begitu. Esnya mau berapa mas, seperti biasa (maksudnya Rp 2000)?

Aku pun menjawab : “Lebih mas, nih aku bawa gelas gede. Kalau Rp 5000, nampung nggak di gelas ini”.

Si masnya pun menjawab : “Nampung kok, bisa lebih malah”.

Tapi maaf yah mas, hari ini uangnya kebanyakan recehan. Biasalah mas, setiap kembalian di warung biasa maupun warung modern tetap aku kumpul biarpun cuma RP 100 atau Rp 200.

Oh… nggak apa-apa mas. Yang penting masih uang rupiah dan masih laku. Lagian bagi saya tidak masalah, itu sudah rejeki dan yang penting lagi tetap di syukuri.

Obrolan pun berakhir. Segelas es tong-tong sudah ditangan dan siap mendinginkan tenggorokan yang siang itu lagi kehausan karena panas yang menyengat melanda kota Makassar. Dan si mas penjualnya pun meminta ijin untuk lanjut keliling kompleks dengan gerobak esnya.

Setelah si masnya berlalu, aku berpikir jauh beberapa tahun ke belakang. Kurang lebih ke tahun 2011 silam. Kala itu, kalau aku tidak salah ingat, saat pulang kampung, beberapa ponakan pernah meminta uang kepadaku. Dompet pun aku keluarkan dan keluarlah beberapa lembar uang kertas (Rp 1000). Satu persatu aku bagikan rata ke mereka. Namun dari wajah mereka terlihat kurang bersemangat.

Dengan muka kecut, mereka tetap menerima uang itu, tapi salah satunya sempat protes.

“Kok cuma seribu sih. Emang nggak ada yang lebih gede nilainya dari ini? Ini mah nggak cukup buat jajan. Ah… kakak pelit nih” katanya sambil berlalu meninggalkanku.

Di tempat aku kuliah, uang segitu masih berharga bangad. Dan hari itu, aku cuma bisa geleng-geleng kepala sambil melihat isi dompet yang sudah kosong. Tapi sebelum mereka jauh berlalu, saya sempat berpesan : "Udah, uangnya ditabung saja di celengan biar banyak. Atau kasih saja ke mamamu biar disimpan di celengan”.

Tapi apa mau dikata, namanya juga anak-anak. Bukannya nurut malah melakukan hal sebaliknya, berlari jauh entah kemana. Dan ibunya, yang tak lain adalah kakakku hanya bisa geleng-geleng kepala. Aku pun semakin heran lagi, baru umur segitu (SD kelas 1-2) sudah tak mau dikasih uang kertas 1000-an. Bagaimana dengan pecahan dibawahnya, Rp 500 hingga Rp 100? Bukan protes lagi yang akan mereka lakukan, tapi demo kali ya.

Karena masih penasaran, aku pun bertanya ke kakakku mengenai hal itu. Ia pun menjawab bahwa sudah setahun belakangan uang receh seakan tidak laku lagi. Jangankan recehan, uang Rp 1000 rupiah saja seperti dianggap bukan uang. Dan hal itu terjadi bukan saja ditempat kakakku, tapi merata di seluruh Pulau Tomia (Wakatobi), tempat dimana aku dilahirkan.

Terpaksa uang recehan hanya disimpan saja dicelengan dan saat terkumpul banyak, disusun rapi berdasarkan nominalnya kemudian dibungkus plastik dan jika ada yang berlayar ke Kota Bau-Bau, uang tersebut dititip dengan harapan ditukar di bank dengan uang kertas yang nominalnya di atas uang Rp 1000 an.

Tapi kasus itu tidak hanya melanda anak-anak saja, ternyata orang dewasa pun banyak yang enggan menerima uang logam pecahan kecil. Kalau pun di terima, pasti uang logam tersebut tak lama akan berakhir di jalan, di got, atau dimana saja. Atau halusnya dibuang oleh si empunya.

Sungguh miris sekali, jika di ingat-ingat kembali pengalaman kala itu. Dan berbanding terbalik dengan apa yang dilakukan oleh penjual es tong-tong akhir November lalu.

Bagaimana mau mencintai Indonesia kalau rupiah saja tidak di hargai? Tapi saya tidak akan menyalahkan mereka warga kampung, karena itu sebenarnya berawal dari kurangnya pemahaman saja dan juga edukasi.

Cintai Rupiah Meski Itu Hanya Recehan (Dok. Pribadi)
Lalu bagaimana dengan di kota?

Dulu, di tahun 2011, uang receh masih laku di kota. Tapi sekarang, lebih-lebih saat berbelanja di swalayan, gerai-gerai minimarket atau semacamnya, uang receh kembalian belanja otomatis akan berakhir menjadi permen oleh pegawai minimarket tersebut. Bahkan kadang berakhir dengan permintaan disumbangkan.

Namun jika hal itu terjadi padaku, jangan harap aku menerimanya. Karena bukan aku tidak mau menyumbangkan atau menerima permen tersebut, tetapi aku sudah menyiapkan langkah jitu dengan menyiapkan recehan lengkap di saku celana, atau dompet untuk mengantisipasi kembalian permen dan juga penodongan sumbangan itu. Malah kadang pakai gesek (pakai ATM), juga e-Money saja. Sehingga tak perlu repot-repot bawa pulang permen, apalagi nyumbang dengan terpaksa.

Nah, akibat kebiasaan kasir yang suka ngasih kembalian permen, aku pernah mendengar cerita ada seorang pria yang sengaja mau kasih pelajaran ke kasir tempat biasa ia berbelanja. Katanya, setiap kembalian permen yang ia terima, ia kumpulkan. Ketika sudah dianggap lumayan banyak, suatu pagi saat belanja dan pas mau bayar, bukan lembar rupiah yang ia keluarkan, tapi dibayar dengan permen. Kasirnya kaget, menolak dan marah.

Pria itu dengan santai menjawab, permen itu hasil uang kembalian yang aku kumpulkan setiap belanja di sini. Untuk itu, hari ini aku datang kembali dan membayar semuanya dengan uang kembalian berupa permen juga. Adil bukan!
Dan apa yang terjadi, sejak saat itu tidak ada lagi kasir yang berani ngasih permen sebagai pengganti recehan kembalian. Nggak perlu debat kusir, dengan sekali action saja sudah cukup membuka mata hati.

Intinya, jangan melihatnya sebagai hal sepele, padahal lama kelamaan akan menjadi masalah besar. Sedangkan hal itu juga adalah bentuk menghargai mata uang kita. Kalau kita sendiri saja tidak peduli dan menghargai, bagaimana dengan orang lain (baca : asing)?

Sudah bisa dibayangkan bukan!

Kesimpulan

Dari sedikit kisah di atas, bisa diambil kesimpulan bahwa keengganan untuk menerima uang receh atau bahkan menggantinya dengan permen, sama saja dengan menunjukkan uang receh rupiah sama sekali tidak bernilai. Pertanyaannya, benarkah uang receh rupiah tidak ada gunanya?

Biarkan hati nuranimu menjawabnya dan pikiranmu menjabarkannya dengan bijaksana dan lebih jauh lagi. Nggak perlu menunggu melakukan hal besar untuk menunjukkan rasa cintamu kepada Negara. Mulailah dari hal-hal kecil, misalnya dengan mencintai setiap rupiah yang ada meskipun nominalnya lebih kecil.

Penjual ES Tong-Tong telah menunjukkan caranya.

BTN Antara Makassar, 31 Desember 2017

16 komentar:

  1. Kebanyakan orang sepele sama uang receh yak. Banyak malah yg buang recehan, seakan gak berharga. Miris jadinya :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bukan kebanyakan, tapi memang banyak bangad yang suka menyepelekannya.

      Hapus
  2. wah, saya pecinta recehan mas, enaknya selalu punya nominal yang pas demi menghindari kembalian recahan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bagus nih buat komunitas pecinta recehan.
      Ya, biar terhindar dari kembalian recehan, lebih baik menyiapkan recehan dari awal.

      Hapus
  3. uang receh, masih selalu menjadi andalan ya. ketika bulan tua :D.
    anak anak sekarang, nggak tahu betapa berharganya 500 atau 1000 ketika diperlukan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya, kalau bulan tua selalu jadi andalan. Pake bangat malah.

      Hapus
  4. wah mantap, pelajaran yang berharga banget yang membaut kita terkadang sadar jika masih ada orang yang begitu sulit dalam kehidupannya namun ia selalu bersyukur dengan apa yang dapat mereka peroleh.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sepakat, dalam kondisi apapun kita harus bersyukur dengan apa yang diperoleh.

      Hapus
  5. haha saya sampe skrg kalo nemu recehan di rumah tetep dipungut :D lumayan buat bayar parkir dan sejenisnya hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benar bangad, biarpun recehan kalau dikumpul nanti juga ada manfaatnya. Bisa buat untuk bayar parkir atau nggak buat jaga-jaga kalau lagi belanja di supermarket.

      Hapus
  6. aku jadi inget waktu itu ada pengamen yang nyanyi di rumah, lalu saat itu aku kasih 500 karena ga ada lagi uang eh uang itu ia terima lalu ia lempar lagi ke mukaku dong :/ sakit hati aku wkwkwk segitu aku masih ada niat kasih tapi malah digituin

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wkwkwkwk.... pengalamannya bikin ngakak deh.

      Hapus
  7. Padahal kalo mau bayar barang harga sejuta uangnya kurang 500 rupiah juga tetep nggak kebeli barang sejutanya ya.
    Kadang emang selalu diingetin sama dunia untuk memperhatikan hal-hal kecil yang sepertinya sepele, tapi justru kalau hal kecil aja diperhatikan, berarti orang tersebut bisa mengatasi hal yang lebih gedhe.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setuju. Tanpa uang recehan, apalah artinya nominal gede. Dan semakin setuju lagi, bahwa dengan memulai dari hal-hal kecil, sadar atau tidak, hal besar pun akan ikut teratasi.

      Hapus
  8. Kita harus mengharai uang receh, kalo giliran pelru rempong deh sampe lirik sana-sini demi si receh. Sama seperti kita menghargai sekecil apapu kebaikan orang lain. Abang es tong-tong bisa jadi lama2 uangnya segunung :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, uang receh seringkali jadi penyelamat di waktu-waktu tertentu. Jadi nggak bisa disepelekan juga, apalagi dianggao remeh.

      Hapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...