Kamis, 23 Februari 2017

Bersama BPJS, Bahagia di Hari Tua Bukan Lagi Sebatas Mimpi


Merencanakan Masa Depan (Gbr : slidesharecdn.com)

Tua itu pasti, tapi menjadi orang yang bahagia di hari tua adalah sebuah pilihan. Ya sebuah pilihan yang tentu harus dipilih dan mulai dipikirkan sejak dini. Benar nggak?

Siapa sih yang nggak mau menjadi orang yang bahagia ketika tua kelak? Pasti semua mau kan, iya kan! Hidup tenang, jerih payah saat masih muda yang dibangun dengan kerja keras akhirnya bisa di nikmati, dengan kata lain kebutuhan hidup terjamin tanpa harus menyusahkan orang lain. Bersenda gurau dengan keluarga besar, bebas mengunjungi cucu-cucu, hingga urusan kesehatan pun tidak perlu takut karena sudah ada yang memproteksi. Dimana semua itu tentu sudah dipikirkan dan direncanakan saat masih muda.

Sama seperti kebanyakan orang, saya pun menginginkan hidup yang demikian ketika memasuki masa tua nanti. Bahkan bersama calon istri pun saya sudah mengkhayalkan kehidupan yang seperti itu, dimana ketika tua nanti calon istri saya menginginkan hidup tenang dan damai di kampung. Dengan kata lain calon istri saya ingin tinggal di kampung dimana saya dilahirkan bukan ditempat ia dilahirkan yang merupakan pusat kekuasaan alias Jakarta.
 
Lalu, bagaimana caranya kami menyiapkan rencana untuk masa tua yang identik dengan masa pensiun tersebut? Jawabannya banyak. Mulai dari menyisihkan penghasilan sedikit demi sedikit untuk di tabung, sebisa mungkin untuk berinvestasi, memproteksi diri dengan asuransi seperti BPJS, hingga wajib memikirkan Jaminan Hari Tua.

*    *    *

Ada banyak cara untuk mewujudkan bahagia di hari tua dan beberapa diantaranya seperti yang sudah saya sebutkan di atas. Namun sebelum masuk lebih detail, ada sedikit cerita yang membuat saya semakin kuat memikirkan masa tua sedini mungkin. Cerita ini ada hubungannya dengan memproteksi diri, atau halusnya asuransi seperti BPJS. Berikut ceritanya dibawah ini :

Awal Januari tahun 2015, di saat sedang fokus melakukan penelitian untuk skripsi saya, tiba-tiba sebuah pesan masuk dengan nomor baru singgah di handphone saya. Pesan itu berhasil membuat konsentrasi saya jadi buyar. Isi kurang lebih seperti ini : “Kak. Lisna masuk rumah sakit, kata dokter kena tipes dan harus di rawat selama 2 minggu”.

Rumah sakit Haji Makassar, itulah tempat dimana adik saya dirawat.

Setelah membaca pesan itu, dalam hati sempat berkata “Woww... Dua minggu, itu bukan waktu yang sebentar. Mau dibayar pakai apa, sedangkan saya masih mahasiswa dan bapak satu-satunya harapan, yang kebetulan bekerja sebagai PNS sudah pensiun pertengahan Desember 2014. Belum lagi ditambah dengan keadaan saya yang sedang melakukan penelitian demi mengejar gelar sarjana teknik (Arsitektur), yang pastinya membutuhkan biaya yang tidak banyak pula. Itu pun belum ditambah lagi dengan adik saya yang satunya lagi yang kuliah di jurusan keperawatan dan sedang membutuhkan biaya untuk membayar SPP”.

“Ahhh... lengkap sudah, semakin pusing jadinya.”

Alhasil, penelitian dan penyusunan skripsi pun jadi sedikit terkendala. Ya, karena saya harus bolak balik dari Perintis Kemerdekaan VII, tempat saya ngekost di bagian timur ke RS. Haji Makassar yang berada di sebelah tenggara. Mau tahu apa penyebabnya, macet. Biarpun lewat jalur tikus alias jalan alternatif, tetap sama memakan waktu hampir sejam baru perginya, belum lagi baliknya. Jadinya tuh, bikin nyeri punggung, pegal linu, dan sebagainya.

Singkat cerita, waktu berjalan begitu cepat. Dua minggu pun rawat inap pun terlewati dengan sukses, tapi ada satu yang kembali membuat dahi saya berkerut. Pasti semua sudah bisa menebak, apakah itu?

Benar sekali. Bakal habis berapa duit nih, mana adik saya dirawat di ruang VIP lagi? Nggak kebayang kan berapa lembar gambar Soekarno-Hatta yang harus dikeluarin. Saya pun bergegas menuju loket kasir untuk menanyakan perihal pembayarannya. Mau tau nggak nih berapa duit yang harus saya keluarkan untuk biaya rawat inap selama 2 minggu plus dan lain-lainnya?

Tidak ada teman-teman. Sekali lagi saya tekankan TIDAK ADA.

Kok bisa? Ya, karena adik saya terdaftar di BPJS. Semua pasti taulah setiap PNS yang punya anak wajib memasukkan tanggungan maksimal 2 orang. Mau ada yang sakit, mau enggak premi itu udah terpotong otomatis setiap tanggal gajian. Tenang, urusan potongan ini sudah pasti ikhlas kok, karena ujung-ujungnya buat masa depan juga. Bukan nunggu masuk rumah sakit dulu baru buat asuransi BPJSnya. Di sisi lain sekaligus dianggap sedekah. Karena siapapun orangnya, pasti nggak mau sakit. Ya, karena sakit itu mahal lho, hehehe...

Saya yang awalnya was-was dan sebelumnya sedikit berpikir macam-macam jadi ceria seperti anak kecil yang mendapatkan mainan baru. Bedanya saat itu saya tidak loncat-loncat, tapi dalam hati kurang lebih demikian gambarannya.
 
Cerita kedua, pertengahan Januari kemarin saya tidak menyangka bakalan masuk rumah sakit. Tenang, saya dipaksa ama calon istri saya. Dia panik gara-gara badan saya tiap pagi panas, mirip-mirip gejala tipes dan DBD gitu. Setelah dimarahi, siangnya saya paksakan ke rumah sakit. Masuklah saya ke IGD. Mau tahu apa yang pertama ditanyain sebelum periksa kesehatan?

Ada BPJSnya pak? Itulah pertanyaan pertama yang menghampiri saya. Begitu pentingnya BPJS sekarang, sudah iurannya murah, pelayanan yang di dapat pun nggak kalah sama asuransi mahal. Asyiknya nggak perlu klaim sana sini dulu, cukup perlihatkan kartu BPJSnya, langsung deh di data sama pegawai di loket.

Sayangnya, hari itu saya tidak punya BPJS dan mau nggak mau harus daftar dijalur pasien umum. Bahkan calon istri saya sempat nyeramahin lagi, kurang lebih seperti ini : “Udah, kamu buat saja BPJS Mandiri. Iuran perbulannya murah kok, ada yang dibawah 50 ribu perbulan. Nanti kalau udah dapat kerjaan tetap baru deh kamu naikin lagi iuran perbulannya atau nggak ikut BPJS Ketenagakerjaan.”

Saya manggut-manggut dan berkata : “Ia juga ya”. Benar-benar murahkan, kalau di hitung-hitung sehari nggak cukup Rp. 2000 rupiah yah kalau mau nyisihin. Malah lebih lagi kalau nyisihin segitu sehari. Daripada habisin buat beli rokok yang 1 batang aja seribu, mending buat proteksi kesehatan dengan ikut asuransi. Ya, nggak?

Sedekah Lewat Asuransi

Awalnya saya nggak begitu paham dengan kalimat ini. Waktu itu saya dengarnya dari seorang ustad yang sedang ceramah sebelum tarwih di bulan ramadan tahun 2016. Dalam ceramahnya ustad tersebut membahas tentang sedekah dan menyinggung juga tentang asuransi yang banyak di protes, tidak becuslah dan macam-macam. Asuransi itu tak lain adalah BPJS.

Padahal jika di tarik ke belakang, rata-rata yang protes itu adalah mereka yang di dominasi oleh yang malas bayar iuran atau mereka yang giliran sakit baru cepat-cepat mau buat asuransi BPJS. Eh, giliran udah sehat nggak mau bayar premi. Pas sakit, telat dikit di urus ngoceh sana sini.

Lah, terus apa hubungannya sedekah dengan asuransi? Bagi orang yang percaya akan kekuasaan Yang Maha Kuasa, dengan ikut asuransi tersebut, mereka yakin kelak akan menjadi penolong buat sesama. Yang seperti semua kita ketahui asas yang dianut dalam BPJS adalah bergotong-royong dalam membantu sesama, termasuk lewat asuransi. Semua pasti paham tanpa perlu saya jelaskan panjang lebar. Nah, bahasa halusnya secara tidak langsung kita ikut bersedekah. Di sisi lain bisa jadi penolak bala agar selalu diberi kesehatan dan tetap bisa membantu sesama lewat asuransi tersebut. Tentunya hal ini bakal membuat bahagia juga kan!

BPJS Tak Hanya Asuransi Kesehatan

Belakangan ini, BPJS ternyata tak hanya tentang asuransi kesehatan saja. dari beberapa informasi, baik itu media cetak, elektronik dan digital seperti blog, BPJS juga sudah mulai melebarkan sayapnya, di antaranya lewat program jaminan hari tua, jaminan pensiun, bahkan sampai untuk perumahan pun udah mulai coba.

Pertanyaannya sekarang, kamu mau hari tuamu seperti apa? Tetap bekerja seperti sekarang atau menikmati hari tua dengan memetik kerja keras di saat masih muda? Jawabannya tentu hanya kamu yang tahu.

Pemerintah kurang baik apalagi dalam memikirkan kesejahteraan masyarakatnya. Meskipun kamu bukanlah seorang PNS, kamu masih bisa kok memikirkan hari tuamu. Caranya, ya ikut program BPJS Jaminan Hari Tua bahkan kalau mau, bisa juga tuh dengan ikut program KPRnya.

Sedangkan buat kamu yang PNS meskipun jaminan hari tua sudah jelas, nggak ada salahnya loh buat ikutan program Jaminan Pensiun. Kan bisa dijadikan sebagai investasi di masa depan. Keren kan!

Bagaimana, masih mau berpikir “Bahagia di Hari Tua” hanya sebuah khayalan dan milik orang berduit saja. Lain dulu lain sekarang, dijaman yang serba mudah ini tidak ada yang tidak mungkin.

Jadi, kalau ada yang bertanya “Bahagia di Hari Tua, Mungkinkah?” saya yakin kamu sudah tau bakal menjawab apa.

BTN Antara Makassar, 23 Februari 2017

6 komentar:

  1. Bahagia hari tua, sangat mungkin jika dipersiapkan sejak dini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setuju, segalanya harus dipersiapkan sejak dini. Kalau nggak seperti itu, maka hanya khayalan belaka untuk bisa bahagia di masa tua.

      Hapus
  2. sedia payung sebelum hujan ya , ini pas deh pepatah ini, tuk siapkan hari tua

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, benar bangad. Makanya kebanyakan asuransi di ibaratkan sebuah payung. Karena seperti itulah fungsinya, untuk memproteksi diri, baik untuk saat ini maupun masa mendatang.

      Hapus
  3. Betul mas timur..orang tua saya juga sudah merasakan manfaat bpjs meskipun masih sering terkendala dengan masalah kamar yang sring dikatakan penuh .. pelayanan yang belum prima.. tapi cukuplah untuk sementara dan saya yakin kedepannya bpjs akan bertambah baik

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya yakin ke depannya hal itu akan teratasi, karena semua tahu butuh proses untuk melakukannya. Terlebih lagi semenjak hadirnya BPJS, masyarakat berbondong-bondong untuk menggunakannya meskipun kadang ada juga peserta BPJS yang bandel. Dalam artian giliran sakit cepat-cepat nuntut BPJS, tapi giliran sehat ogah-ogahan untuk membayar premi yang kalau di hitung perhari masih lebih mahalan biaya rokok.

      Hapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...