Kamis, 21 Mei 2015

Petasan, Antara Tradisi dan Kebiasaan Yang Susah di Hilangkan

Asyik... Sebentar lagi umat muslim di seluruh dunia akan kedatangan bulan yang bertabur kebaikan, keberkahan dan penuh pahala. Salah satu bulan yang dikenal penuh dengan pengampunan dan sangat disayangkan jika dilewatkan begitu saja tanpa melakukan apa-apa. Bahkan bagi mereka yang memiliki iman yang kuat, mengharapkan bulan ini ada terus sepanjang tahun. Kehadirannya selalu membawa kebahagiaan dan ketika akan berlalu kerinduan pun ikut menyertainya. Apalagi kalau bukan bulan ramadhan atau bisa kita sebut bulan puasa.

Bulan Ramadhan adalah bulan penuh berkah; berkah bagi penjual es, berkah bagi penjual pakaian, hingga berkah bagi penjual petasan. Di seantero negeri dengan berbagai ritualnya merayakan bulan suci ini. Umat Islam berlomba-lomba untuk mendapatkan kemenangan, baik pada Idul Fitri maupun nanti di hari kebangkitan.

Seperti halnya ibadah lainnya sebelum ramadhan tiba, kenyamanan beribadah pun sangat diperlukan. Namun, entah mengapa hal ini seakan sulit sekali terpenuhi jika bulan ramadhan tiba. Selalu saja ada yang mengganggu kenyamanan beribadah tersebut, terutama saat waktu ibadah di malam hari. Salah satu yang seringkali mengganggu ibadah tersebut adalah adanya bunyi petasan yang seakan tiada hentinya ketika memasuki malam hari, lebih-lebih sudah memasuki waktu shalat isya dan tarawih.

Ilustrasi, Sumber Gambar : www.merdeka.com
Berdasarkan pengalaman yang saya alami selama berada di perantauan, khususnya di kompleks saya nge-kost, ketika memasuki bulan ramadhan seringkali anak-anak di sekitar kompleks membunyikan petasan di saat memasuki waktu shalat, entah itu magrib maupun isya dan tarawih. Sebagai jamaah yang sering shalat di masjid kompleks tersebut, saya pribadi merasa terganggu. Mengapa? Karena rata-rata petasan yang dibunyikan adalah petasan yang daya ledaknya lumayan besar dan kadang-kadang dibunyikan di dekat masjid saat orang sedang melaksanakan shalat.

Entah karena tradisi yang sudah turun temurun atau kebiasaan yang susah dihilangkan, meskipun sudah dilarang tetap saja masih banyak yang melakukannya. Dan jika saya perhatikan, hampir semua usia pernah membunyikan petasan.

Setiap ramadhan tiba, pihak kepolisian sudah menghimbau agar selama bulan ramadhan para warga sadar dan menghargai orang yang sedang beribadah, terutama pada malam hari menjelang magrib sampai shalat tarawih selesai. Namun, himbauan atau larangan tersebut seperti angin yang berlalu begitu saja. Bahkan rasanya seakan memberikan himbauan kepada orang yang mengalami masalah pendengaran. Seperti kata pepatah "Masuk di telinga kanan keluar di telinga kiri". Yang bila di artikan sama saja dengan sia-sia alias tidak berbekas.

Perlu kita perhatikan baik-baik bahwa apakah petasan di bulan ramadhan atau bulan puasa itu sebagai tradisi Al-Quranniah atau tidak? Mengapa demikian? Karena menurut pengetahuan saya tradisi petasan di bulan puasa itu sebenarnya tidak jelas asal mulanya dan itu tidak cocok untuk dijadikan tradisi dalam bulan puasa.

Bagi saya, justru tradisi ini merusak makna puasa yang sebenarnya, yakni bulan penuh rahmat dan hikmat. Coba bayangkan setiap memulai bulan puasa selalu diserukan agar menghormati bulan ramadhan dan menghormati mereka yang menjalankannya, sampai harus mengatur jam operasi tempat hiburan, warung, rumah makan (sekelas restoran dan semacamnya) dan sebagainya. Tetapi yang sangat disayangkan adalah mereka yang tidak sadar ketika meledakkan petasan di bulan puasa. Mereka seakan tidak menghargai bulan puasa dan lebih detail lagi, yakni tidak menghargai orang-orang yang sedang menjalankan ibadah tersebut.

Bayangkan! Ketika di antara kita sedang menjalankan ibadah puasa atau ibadah lain seperti shalat dan melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an (Mengaji). Tiba-tiba saja ada yang membunyikan petasan dengan daya ledak yang lumayan menguncang kompleks di mana kita tinggal, otomatis kita yang mendengarkan akan kaget dan terkadang tanpa sadar atau mungkin latah, kita mengucapkan kata atau kalimat yang sebenarnya tidak kita harapkan.

Apa yang saya contohkan di atas hanya sebatas hal kecil. Namun bagaimana bila yang mendengarkan petasan tersebut adalah orang yang memiliki riwayat atau keturunan penyakit jantung, bisa jadi heboh dampak yang di akibatkan nantinya. Gak perlu di bayangkan lagi, pasti semuanya sudah pada tahu apa yang akan terjadi. Apalagi kalau bukan langsung pada resiko yang lebih fatal, yakni KO.

Entah bagaimana dengan pandangan orang lain, tapi bagi saya pribadi, petasan yang diledakkan lebih menjurus ke arah yang sangat menganggu.  Apalagi di bunyikan saat orang lain sedang menjalankan ibadah shalat. Dari yang saya perhatikan, selalu saja ada tangan-tangan usil yang meledakkan benda bernama petasan itu, walaupun sudah di ingatkan untuk tidak dibunyikan saat orang lain sedang menjalankan ibadah shalat, seperti di waktu magrib, isya dan tarawih, serta saat menjelang sahur dan waktu shubuh. Bahkan yang sangat disayangkan, hal ini kebanyakan dilakukan oleh umat muslim sendiri.

Makassar, 21 Mei 2015

14 komentar:

  1. tapi serem ah klo kena jebluk di kulit..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe... Lumayan perih kalau kena kulit.

      Hapus
  2. Saya sebel sama yang maen petasan. Apalagi sejak punya bayi. Sepertinya himbauan saja tidak cukup untuk warga Indonesia

    BalasHapus
    Balasan
    1. Entah harus menggunakan cara apalagi untuk menghilangkan kebiasaan yang tidak baik ini.

      Hapus
  3. saya juga suka jantungan kalau denger petasan. apalagi kalau anak2 iseng masukin peatsan ke halaman rumah karena sering aku tegur

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah... yang seperti itu tuh yang susah di tegur. Apalagi anak-anak zaman sekarang, semakin di ingatkan malah seperti menyuruh mereka untuk melakukan hal sebaliknya.

      Hapus
  4. Mungkin petasan memang sudah tradisi negatif setiap bulan puasa.
    Salam kenal :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Entahlah... hanya saja kalau bagi saya lebih dominan negatifnya daripada positifnya. Contohnya uang terbuang percuma begitu saja hanya untuk membeli petasan yang akhirnya harus diledakkan.

      Hapus
  5. Salam kenal...
    Di lingkungan rumah orang tua saya di Bandar Lampung, alhamdulillah bunyi petasan saat Ramadhan & Idul Fitri tidak sebegitunya. Tapi di tempat saya merantau, saat Ramadhan bunyi petasa lebih heboh, saat umat Nasrani merayakan Natal, bunyi petasan lebih heboh, dan saat malam tahun baru seperti ada di medan perang. Meski sudah dilarangpun di mall besar tetap ada yang jual petasan dan banyak yang membeli :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sepertinya semua kembali lagi pada kesadaran spiritual masing-masing. Atau contohnya seperti di daerah Mba Heni yang masih memegang teguh rasa saling menghargai antar sesama.

      Salam kenal juga.

      Hapus
  6. Di tmpat aq gk hanya petasan yg booming, ada boom2an jg, yg bikin dari bambu ituuu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lumayan mengganggu ya mba Inda.
      Ngomongin meriam bambu jadi ingat masa kecil, tapi mainin ginian bukan di bulan ramadhan melainkan setelah ramadhan udah benar-benar usai.

      Hapus
  7. Saya juga bingung apa sebenernya yang membuat perasaan begitu menarik anak-anak. ..suka sebel dengarnya hehehe..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mungkin karena ledakannya dan keseruan yang dihasilkan setelah itu. Lumayan sih kalau soal sebel juga.

      Hapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...