Senin, 20 April 2015

Memotret Kabut Di Atas Kayangan

Awal April tahun lalu, tepatnya setelah sepulang dari KKN yang telah aku lalui selama hampir dua bulan, aku menyempatkan diri untuk mencari suasana baru sekaligus meliburkan diri dari segala aktivitas perkuliahan. Padahal waktu itu proses perkuliahan masih berjalan dan belum memasuki masa liburan semester. Tapi aku tetap saja memutuskan untuk berlibur dan rehat sejenak dari semua hal yang berhubungan dengan kuliah.

Hal itu aku lakukan karena sudah menyelesaikan semua mata kuliah yang aku program di jurusan Arsitektur. Dan saat itu tinggal mengajukan judul skripsi dan memperbaiki beberapa mata kuliah yang nilainya masih standar alias C. Karena jadwal mata kuliah perbaikan belum keluar dan nilai KKN sebagai syarat untuk mengajukan judul belum keluar juga, maka aku semakin memantapkan diri untuk berlibur sejenak. Jadwal liburan yang aku agendakan pun tidak lama, yakni hanya seminggu dan paling lama sekitar dua minggu saja.

Karena tekad sudah bulat untuk berlibur dan euforia KKN masih saja terasa, maka aku memutuskan untuk berlibur di kampung halaman saja. Saat itu aku memilih kampung halaman untuk berlibur karena sudah hampir 4 tahun tidak ikut mudik. Di sisi lain sekalian untuk menengok orangtua sekaligus melihat perkembangan kampung halaman yang konon katanya sudah banyak mengalami perubahan.

Dari Atas PELNI, Dokumen Pribadi
Berbekal rasa penasaran tersebut, aku pun akhirnya pulang kampung juga. Dan seperti biasanya untuk sampai ke kampung harus melakukan perjalanan panjang dengan kapal. Bukan hanya itu saja, aku harus dua kali naik kapal baru sampai ke kampung halaman. Yang pertama naik kapal PELNI dengan tujuan Makassar ke Bau-Bau, setelah itu dari Bau-Bau melanjutkan perjalanan dengan naik kapal kayu yang kapasitasnya sampai 100 orang ke kampung halaman. Untung saja aku sudah terbiasa dengan perjalanan jauh tersebut, sehingga gak kaget lagi dan bisa menyesuaikan antara jadwal kapal PELNI dengan kapal yang menuju kampung halaman.

Singkat cerita, aku pun telah sampai di kampung halaman dan benar saja banyak perubahan yang terjadi selama 4 tahun aku tidak mudik. Namun yang paling menyenangkan bagiku adalah ketika sampai di rumah. Suasananya masih tetap sama dengan banyak pohon yang mengelilingi, seperti pohon jeruk, nangka, sirsak, pepaya dan di belakang rumah masih penuh dengan pohon bambu.

Keadaan tahun 2010 (Potret dari Laptop Compac), Dokumen Pribadi
Hanya ada sedikit perubahan, yakni depan rumah sudah di aspal dan saat itu kampungku sedang mengikuti lomba kebersihan yang di adakan provinsi, yang mana pemenangnya akan menjadi wakil provinsi dalam lomba keberhasilan tingkat nasional. Tapi sayang seribu sayang, setelah berhasil menjadi pemenang lomba tidak jadi di ikutkan sebagai wakil provinsi dan konon katanya pihak provinsi lebih memilih daerah yang masih berada di wilayah kelahiran sang Gubernur.
Selama di kampung halaman, banyak hal yang aku temui dan semua itu membuat senang serta bahagia. Apalagi bisa merasakan makanan khas kampung halaman yang sudah lama tidak aku rasakan. Entah itu kasoami, kapussu nosu, maupun ikan yang selalu dalam keadaan segar ketika di beli bahkan tak jarang ikan yang dijaula masih bergerak alias hidup.

Di satu sisi, aku bisa berkunjung ke rumah sanak saudara yang dekat maupun yang jauh jaraknya dari rumah. Mengunjungi nenek yang kini sudah memasuki usia renta dan mulai pikun. Sesekali juga aku menyempatkan diri untuk berkumpul dengan teman-teman. Dan kebetulan saja waktu itu berdekatan juga dengan acara pesta demokrasi, yakni pemilu legislatif sehingga suasana kampung semakin ramai setiap harinya. Bahkan suasananya seperti hari raya besar saking ramainya setiap hari sampai hari H pemilihan.

Namun tak hanya itu, masih ada hal lain yang membuatku senang lagi ketika berada di kampung, yakni  kabut yang sering menyelimuti kampung ketika hujan datang. Entah itu ketika hujan dengan intensitas kencang maupun ringan. Dan bagiku pemandangan itu sungguh menakjubkan serta sayang bila di sia-siakan. Beberapa di antara berhasil aku abadikan ke dalam kamera Handphone meskipun hasilnya mungkin gak sebagus jepretan kamera DLSR.

Ketika itu, aku sedang menelpon di atas bukit yang merupakan asal mula kampungku berdiri sebelum sedikit demi penduduk bergeser ke lembah di bawahnya yang akhirnya bertahan menjadi pemukiman sampai saat ini. Oh iya, aku menelpon dibukit tersebut karena jaringan seluler hanya sampai di situ saja. Dan bila sedikit saja bergerak menuruni bukit, maka jaringan di pastikan perlahan-lahan akan menghilang dari peredarannya.

Konon bukit tempat aku menelpon saat itu memiliki nama yang keren dan sering membuat orang kaget ketika mendengarnya. Dan nama yang aku maksud adalah Kayangan (Desa Kayangan). Karena setiap pendatang sering kaget ketika mendengar nama itu, akhirnya kepala kampung (saat itu belum ada yang namanya kepala desa) mencoba mengubah nama tersebut menjadi Kahyanga atau Kahianga.

Di situlah aku mengabadikan kabut ke dalam kamera Handphone yang aku miliki. Ketika itu hujan mendadak deras dan angin kencang, namun tidak berlangsung lama. Setelah itu hujan hanya dalam intensitas rendah dan saat itulah kabut terbentuk secara perlahan-lahan. Beberapa di antaranya bisa di lihat di bawah ini :



Itulah ceritaku kali ini tentang kampung halaman dan kabut yang berhasil aku abadikan ke dalam kamera Cross A18 yang aku miliki.

Makassar, 20 April 2015

18 komentar:

  1. pengalaman yang menyenangkan sekali bisa kembali ke kampung halaman, pemandangannya indah, lihat jalanan yang di aspal membuat saya ingat jalanan di sekolah saya waktu mts. Kabut memang suatu hal yang menarik, saya hanya melihat kabut pada saat jalan-jalan ke tempat wisata :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe... makasih mas Aldi untuk apresiasinya.

      Hapus
  2. Wah meskipun siang juga bisa terjadi kabut gitu yaa? Ngeri juga sih tapi, jarak pandang terbatas. Harus ekstra waspada :))

    Tapi keren mas. Bisa pipis diatas kabut :v

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya kewaspadaan harus tetap di tingkatkan.
      Hahaha... bisa aja ni mas bercandanya.

      Hapus
  3. Subhanallah Mas.. 4 tahun lamanya gak pulang ke kampung halaman? Duh.. rindu tiada terperi ya :')

    BalasHapus
    Balasan
    1. Gak juga mba Hilda, udah terbiasa dari kecil kok sering di tinggal. Orangtua juga sering datang menjenguk sekalian belanja pakaian atau horden pesanan orang.

      Hapus
  4. Fiuuh foto-fotonya bagus..... pemandangannya keren ^_^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha... bisa aja Mba, tu kan pakai kamera standar yang ada di Handphone

      Hapus
  5. Jauh .juga ya kampungnya. Duh lautnya tenang serasa damai.

    salam,
    http://alrisblog.wordpress.com

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lumayan jaraknya mas. Alhamdulillah pemandangan laut lepas bisa membuat pikiran tetap tenang dan tetap bersyukur akan anugerah Yang Maha Kuasa berikan.

      Hapus
  6. kapan2 kita memotret kabut keabadian di atas gunung...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah... boleh juga, pengen sekali ikut mendaki gunung.

      Hapus
  7. asik ya kampungnya masih asri. di kampung saya udah banyak yg berlangganan air PAM...artinya air dari sungai dan tanah sudah tdk memadai :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah Mba Kania. Tapi di sana tidak ada sungai, jadi kalau untuk mendapatkan air harus buat bak penampungan dulu untuk menampung air hujan.

      Hapus
  8. kampung halamannya tampak asri mas,pasti betah ya tinggal disana kayaknya adem gitu :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah, adem sekali Mba Defa. Bukan betah saja, tapi ngangenin kalau udah ninggalin kampung halaman.

      Hapus
  9. Asri tuh kampung halamannya.. Kayaknya hawanya jg adem

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...